Pendidikan sebagai usaha sadar dalam perubahan tingkah laku (memanusiakan manusia) ternyata kini menjadi tidak jelas alias kabur dilihat dari berbagai aspek pendukungnya: kurikulum, guru/dosen, metode pembelajaran dan evaluasinya. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan serta merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mengindikasikan bahwa pendidikan kita telah gagal sebagai instrument pembangunan yang paling vital di Negara ini.
Cukup ironis memang, Negara yang masyarakatnya menganut ideology Pancasila diselimuti oleh ketidakadilan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Negara yang masyarakatnya meyakini adanya Tuhan lebih bejad dari para atheis. Dalam artian yang lebih sederhana “Indonesia sebenarnya telah kehilangan jati diri”.
Akibat dari semua itu, sekarang kita menemukan diri kita berada dalam kubangan masalah yang maha besar, “chaos” kata orang bule. Tapi saya memandangnya lebih dari sekadar itu. “kehilangan jati diri” itu adalah masalah yang mendasar. Hal ini terjadi karena beberapa sebab: pertama, pendidikan kita kering dari masalah etika/moral serta nilai-nilai keagamaan. Perilaku umum masyarakat kita (baik itu kalangan terpelajar maupun masyarakat awam) adalah perilaku meniru (imitasi), seringkali sesuatu yang berbau kebarat-baratan itu kita anggap lebih mumpuni daripada nilai-nilai lokal – kita kemudian secara sadar atau tidak menjadi masyarakat yang konsumtif. Tidak hanya baju, ataupun sekadar barang-barang elektronik, tetapi kita tanpa ragu-ragu mengadopsi alias mengkonsumsi sistem pendidikan barat yang di negara mereka sendiri telah lama ditinggalkan (rongsokan), hasilnya seperti sekarang ini: kita hidup dalam keterasingan, masalah demi masalah muncul silih berganti tanpa ada solusi, karena memang kita (para tukang adopter) belum lagi tuntas mempelajari sesuatu yang kita adopsi tadi secara mendetail, mendalam dan menyeluruh.
Kedua, dalam pelaksanaan kebijakan ataupun program kependidikan kita lebih menekankan/ lebih cenderung menggunakan logika proyek, kenapa demikian? karena logika proyek lebih menguntungkan terutama karena logika proyek menyangkut ‘uang dan pembagian jatah’—peluang korupsi semakin menganga lebar. Lingkaran setan atau benang kusut pendidikan atau apapun istilahnya selalu saja berjalan demikian, sementara sebagian kecil dari pejabat dan praktisi pendidikan (bisa dihitung dengan jari) terutama pada level menengah ke bawah mencoba berpikir bagaimana merubah kondisi sekarang ini menjadi lebih baik. Tapi, bagaimana mungkin merubah kondisi yang demikian parah ini bisa dilakukan, sementara para pejabat negara (pemegang kebijakan) pada level top leader masih banyak yang ‘korup’ alias ‘tidak beres’?
Ketiga, pemahaman tenaga kependidikan (guru/dosen) terhadap profesinya demikian rendah. Anak didik (siswa/mahasiswa) mendapat bimbingan dan pembinaan sebatas di ruang kelas dengan materi kurikulum yang kering etika dan moral tadi. Bagaimana kemudian sistem persekolahan kita juga menganut etika bisnis, yang pada akhirnya memunculkan rasa ketidakadilan di antara peserta didik. Solusi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang ditawarkan Fasli Djalal dan kawan-kawan Pokja-nya terbukti tidak mampu merubah kondisi pendidikan ini menjadi lebih baik walaupun hal ini tidak selalu demikian. Kebijakan ini hanya mampu merubah kondisi guru “dari Oemar Bakry menjadi Rizal Bakry”. Adakah guru yang berteriak ketika terdapat siswa yang gagal dalam belajarnya? Pernahkah kita mendengar guru menangis ketika anak didiknya lulus, lalu menjadi pengangguran? Tidak…! Guru-guru kita akan berteriak dengan lantang sambil mengeluarkan air mata di jalanan ketika gaji mereka tidak mengalami peningkatan. Dengan demikian, kebijakan peningkatan kesejahteraan bagi guru memang baik, tetapi harus ada prakondisi untuk mengambil kebijakan semacam ini.
Revolusi – merombak tatanan yang sudah mapan secara mendasar dan radikal sepertinya bukanlah solusi, menghapus semua sekolah formal sebagaimana yang ditawarkan Ivan Illich juga terlalu ekstrim. Bukankah Indonesia pernah menjadi idola dunia dalam hal pendidikan pada tahun 1980-an, di mana negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia banyak belajar di negeri ini? Itulah yang kemudian saya maksudkan sebagai rekonstruksi dalam tulisan ini. Lalu kenapa kita tidak berusaha untuk belajar bagaimana para pendahulu kita belajar? Ataukah memang kita bebal sejarah dan tidak sadar ruang dan waktu?
Rekonstruksi bukan berarti membangun sebagaimana ia telah dibangun pada awalnya, merekonstruksi disini lebih ditekankan kepada bagaimana pembangunan kembali sesuai dengan kondisi/kebutuhan masyarakat kekinian. Bertahun-tahun kita percaya bahwa pendidikan mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat dan merubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik, tetapi kita lupa bahwa moralitas itu lebih penting daripada kecerdasan yang diagung-agungkan oleh mereka-mereka yang rasionalis dan positivis.
Beberapa langkah konkrit yang bisa dilakukan dalam merekonstruksi pendidikan kita adalah: 1) kurikulum pendidikan harus lebih menekankan tingginya moralitas, religiusitas dan profesionalitas selain kualitas SDM dilingkungan civitas akademika melalui pesantren kilat dan sejenisnya, 2) perbaiki sistem rekrutmen tenaga kependidikan agar lebih obyektif dan transparan, 3) pendidikan harus terlepas dari persoalan-persoalan politik (pejabat di lingkungan pendidikan dan guru tidak dilibatkan dalam ranah politik—tidak memiliki hak memilih sebagaimana diterapkan bagi TNI dan POLRI), 4) perlu dilakukan pendefinisian ulang mengenai demokrasi dalam dunia pendidikan. Dan 5) Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, katakan bahwa “Ilmu tidaklah diperjualbelikan, perbaikilah perilaku dan moral kita masing-masing sebelum kita mulai dengan gerakan ini, katakan juga bahwa “kita adalah guru-guru yang ikhlas berjuang dan rela berkorban demi masa depan Indonesia yang lebih baik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar