BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu ciri yang menonjol dari abad XXI adalah kompetisi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka yang unggul dalam kemampuan teknologi, manajemen, dan terutama kualitas sumber daya manusia (SDM) akan memainkan peranan penting dalam era tanpa batas ini. Sebaliknya, negara-negara yang terbelakang dalam tiga komponen tersebut akan terseok-seok, bahkan menjadi korban arus globalisasi. Dari tiga komponen itu, kualitas SDM merupakan faktor yang paling menentukan karena bersifat aktif. (Anam, 2005:375).
Berkualitasnya sumber daya manusia hanya dapat diraih melalui pendidikan yang berkualitas. Dengan pendidikan, manusia mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan memperbaiki kualitas produksi mereka melalui investasi teknologi. Hal ini digambarkan oleh Carnevale (2001) berikut ini:
Education has become the key ingredient in the 21st century recipe for growing the economic pie. Human capital in the form of high levels of educational attainment is the collateral for successful technology investments. In modern economies, about 25 percent of increasing wealth and productivity improvements come from investments in technology; the other 75 percent come from increases in educational attainment and related advances in applied knowledge that allow us to use our technology investments effectively.
Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak negara di dunia yang miskin sumber daya alam, tetapi mereka bisa memenangkan persaingan global karena memiliki SDM yang handal. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang kaya potensi sumber daya alamnya, namun tidak dapat mengelola dengan baik karena SDM-nya lemah.
Pendidikan dengan demikian merupakan persoalan yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti: faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain sebagainya. Di antara sekian faktor tersebut, faktor ekonomi yang terwujud dalam biaya pendidikan merupakan faktor (komponen masukan) instrumental yang sangat penting dalam penyelengaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan–baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif—biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan. (Depdiknas, 2001:1).
Pengaruh nyata dari faktor ekonomi dapat dilihat dari merosotnya ekonomi di Indonesia yang ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda negeri ini sejak tahun 1997, menyebabkan penyelenggaraan pendidikan semakin terpuruk. Sebelum krisis ekonomi terjadi, pendidikan di Indonesia telah mencapai perkembangan yang luar biasa pada tiga dekade terakhir. Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari penurunan yang tajam terhadap angka buta huruf, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat, serta peningkatan APK/APM pada setiap tingkatan, rata-rata tingkat pendidikan angkatan kerja yang semakin tinggi ini telah membantu produktivitas diantara angkatan kerja. Data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam World Development Report menggambarkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat pendidikan dasar pada tahun 1997 mencapai 97%, meskipun proporsi anak yang menyelesaikan tingkat sekolah dasar tidak lebih dari 80%. (Anam, 2005:187)
Upaya untuk lebih mendorong jenjang pendidikan anak sekolah telah dilakukan dengan mencanangkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar DikDas) 9 tahun pada tahun 1994, yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2004. Sejak diperkenalkannya program tersebut, rasio partisipasi di tingkat SLTP telah meningkat setelah APM sempat menurun dari 62% pada tahun 1988 menjadi 58% pada tahun 1994, yang akhirnya meningkat menjadi 72% pada tahun 1997.
Dengan adanya krisis, terdapat kekhawatiran bahwa angka anak putus sekolah akan meningkat yang mungkin dapat membalikkan kondisi yang dicapai selama tahun-tahun sebelumnya. Lebih-lebih di daerah terpencil (IDT) dan daerah-daerah lainnya yang termasuk ke dalam kategori di bawah garis kemiskinan. Seperti: Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Lampung.
Dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan di Nusa Tenggara Barat, diperlihatkan dengan data banyaknya siswa yang putus sekolah (DO), yaitu dari 62.757 siswa sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah negeri-swasta peserta ujian akhir nasional (UAN) tahun 2003/2004 di NTB, hanya 60.264 siswa yang benar-benar mengikuti ujian pada hari pelaksanaan. Sisanya, 2.493 siswa (umumnya siswi) gagal mengikuti ujian dengan alasan klasik: diterima bekerja sebagai tenaga kerja migran atau menikah menjelang hari "H" ujian. Catatan lain, dari 300.980 penduduk buta huruf usia 10-14 tahun di NTB tahun 2004, hanya 47.820 orang di antaranya bisa dibelajarkan. Sisanya, 253.160 orang buta huruf dan 50 persen adalah perempuan, remaja, dan ibu rumah tangga. Kondisi pendidikan perempuan semakin parah mengingat angka putus sekolah SD pada kelas awal (kelas III dan IV) sebagian besar para siswi. (Kompas, Senin 07 Pebruari 2005).
Sementara itu, di kabupaten Lombok Timur angka putus sekolah (DO) di tingkat pendidikan dasar (SD-MI dan SLTP-MTs), pada tahun 2002/2003 mencapai 5,1% dari 204.783 orang siswa atau 10.239 orang. Dari jumlah tersebut, murid perempuan merupakan kelompok yang paling dominan (Depdikbud Lombok Timur, 2004).
Terpuruknya pendidikan di daerah ini, yang sebagian besarnya adalah perempuan, dikarenakan oleh faktor sosial masyarakat dan cara pandang mereka terhadap perempuan (gender) itu sendiri. Di mana perempuan Lombok menghadapi persoalan yang jauh lebih kompleks tidak hanya berhadapan dengan kuatnya ideologi patriarki dan ideologi familialisme yang mengakar dalam kultur masyarakat tetapi juga berhadapan dengan kapitalisme sebagai kekuatan baru ketika mereka masuk dalam wilayah publik (Abdullah, 2003: 8).
Melihat kondisi pendidikan yang begitu terpuruk di Lombok Timur sebagaimana yang diungkap di atas, pemerintah (pusat dan daerah) kemudian mengeluarkan beberapa program mendasar, salah satunya adalah program beasiswa, program tersebut antara lain dari Kementerian Depdiknas (APBN), Bank Pembangunan Asia (ADB), APBD propinsi hingga APBD Kabupaten dan Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) (Suara NTB, 16-07-2004). Program ini ditujukan untuk mendukung biaya pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin, serta bantuan dana operasional untuk sekolah-sekolah yang melayani mereka.
Program beasiswa tersebut beragam pula kriterianya, dari keluarga tidak mampu sampai beasiswa bagi kalangan keluarga yang tergolong mampu. Maka alasan untuk penerimaan beasiswa itu pun beragam pula. Siswa yang mampu secara ekonomi dan kebetulan cerdas di kelas, maka alasan pemberian beasiswa yakni penghargaan atas prestasinya. Di antara penerima beasiswa tersebut, kriteria kemiskinan dan jenis kelamin perempuan menjadi kriteria utama.
Khusus untuk program pemberian beasiswa yang dialokasikan melalui Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (DBEP) ADB. Dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anak-anak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan, gelandangan dan lain sejenisnya, anak-anak yang masuk dalam kategori ini akan dialokasikan melalui Dana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (DPPK). Sedangkan anak-anak yang pernah mengenyam bangku sekolah, namun karena alasan ekonomi, akhirnya mereka putus sekolah. Kategori anak yang kedua ini dialokasikan melalui Dana Pengembangan Sekolah (DPS). (Dirjen Dikdas, 2002)
Sejak program pemberian beasiswa ini berjalan sampai dengan sekarang, ternyata jumlah anak-anak yang putus sekolah tidak mengalami penurunan yang signifikan, bahkan ada kecenderungannya mengalami peningkatan. Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem pengelolaan (pendataan, pendistribusian dan pertanggungjawaban serta praktek-praktek yang dijalankan) oleh pihak sekolah maupun pihak pengelola proyek kabupaten yang tidak memadai. Fenomena yang sering muncul dalam pelaksanaan program pemberian beasiswa adalah: Banyak siswa yang mampu secara ekonomi tiba-tiba mengaku miskin. Lebih parah lagi, oknum aparat di Kantor Desa yang berwenang mengeluarkan surat keterangan miskin tersebut tidak memiliki kualifikasi yang jelas terhadap penerbitan surat keterangan dimaksud (Suara NTB, 16/07/2004). Di pihak sekolah sendiri, terdapat kekeliruan yang disengaja atau kesalahan yang terjadi karena kurangnya pemahaman pihak sekolah dengan komite sekolah mengenai visi, misi, tujuan dan sasaran program. Banyak sekolah yang memberikan beasiswa DPS kepada semua siswanya secara merata. Bahkan, ada juga siswa yang tercantum dalam pendataan sebagai siswa atau anak yang layak mendapatkan beasiswa retrival namun yang bersangkutan sudah pergi ke Malaysia atau negara lainnya sebagai TKI.
Masalah lain juga muncul, yakni pada siswa penerima beasiswa itu sendiri, dengan tingkat ekonomi yang serba kekurangan, banyak orang tua atau siswa sendiri yang memanfaatkan uang beasiswa bukan untuk keperluan sekolah, tapi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (membeli sembako), digunakan untuk membiayai persalinan ibuknya yang sedang melahirkan, dan lain sebagainya.
Dengan munculnya masalah sebagaimana diutarakan di atas, bisa dikatakan bahwa program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan DO terutama miskin dan perempuan perlu mendapatkan perhatian yang serius untuk pelaksanaannya di waktu mendatang dengan mekanisme yang lebih baik (transparan akuntable). Hal inilah yang mendasari keinginan peneliti untuk mengetahui sejauh mana keefektifan program pemberian beasiswa dalam mendukung program pemerataan pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur.
1.2 Identifikasi Masalah
Ada kekhawatiran, jangan-jangan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan DO terutama miskin dan perempuan ini tidak memberikan banyak solusi dalam mengurangi angka putus sekolah yang terus meningkat terutama bagi program pemerataan pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur. Meskipun dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan junkis) yang sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh instansi pemberi bantuan.
Ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi kaitannya dengan pelaksanaan program pemerataan pendidikan dasar melalui program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan DO terutama miskin dan perempuan, sebagai berikut.
1) Sosialisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PDK) kabupaten Lombok Timur khususnya pengelola proyek DBEP-ADB kabupaten, belum optimal kepada lembaga pendidikan di bawahnya khususnya menyangkut penyelenggaraan program pemberian beasiswa masih kurang;
2) Kondisi ekonomi masyarakat yang rendah, tidak memungkinkan untuk tercapainya tujuan pemberian beasiswa.
3) Masih kurangnya koordinasi antara pihak sekolah dengan instansi lainnya terutama pemerintah desa dalam mendata penerima beasiswa.
4) Masih minimnya pemahaman masyarakat mengenai kesetaraan gender, termasuk pemahaman perempuan sendiri terhadap keberadaan mereka dalam pendidikan dan pembangunan di daerah secara keseluruhan.
5) Masih minimnya sarana prasarana dalam melaksanakan desentralisasi pendidikan di sekolah;
6) Kurangnya sumber daya yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan otonomi pendidikan di sekolah;
7) Besarnya kebutuhan biaya pendidikan yang harus disiapkan oleh sekolah untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi pendidikan;
8) Lemahnya daya dukung masyarakat terhadap pendidikan di sekolah;
9) Kurangnya pemahaman guru tentang desentralisasi pendidikan di sekolah.
1.3 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya wilayah penelitian seperti pada tahapan konteks yang terdiri dari: keadaan geografis, dukungan partisipasi masyarakat, kebijakan pemerintah, dan status sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya pada tahapan input yang terdiri dari: visi dan misi dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten Lombok Timur, tujuan program, sasaran program, sumber daya pengelola/pengelolaan program, siswa/sekolah penerima beasiswa. Sedangkan pada tahapan proses terdiri dari: proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan program, proses evaluasi, proses akuntabilitas, keterbukaan, proses keberlanjutan program (sustainabilitas), dan pengelolaan keuangan. Pada tahapan product terdiri dari: pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar dan penurunan angka drop out. Maka untuk mendapat fokus yang lebih tajam, permasalahan dibatasi pada pelaksanaan program pemerataan pendidikan dasar melalui program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan DO terutama miskin dan perempuan, yang dananya dialokasikan melalui Dana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (DPPK) bagian Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (DBEP) ADB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lombok Timur.
Adapun acuan yang digunakan adalah perangkat monitoring dan evaluasi yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional 2002 dan Memorandum Administrasi Proyek (MAP) DBEP ADB.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah efektifitas implementasi program pemerataan pendidikan dasar melalui pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan di kabupaten Lombok Timur ditinjau dari komponen konteks, input, proses dan produk?
2) Apakah kelebihan dan kelemahan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur?
3) Kendala apa saja yang dihadapi oleh pemerintah kabupaten Lombok Timur khususnya pengelola program dalam mengimplementasikan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan?
4) Upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Lombok Timur khususnya pengelola program untuk menanggulangi kendala dan hambatan dalam mengimplementasikan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan?
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujaun untuk mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan program pemerataan pendidikan dasar melalui pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out (DO) terutama miskin dan perempuan sebagai berikut.
1) Efektikvitas implementasi program pemerataan pendidikan dasar melalui pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan dalam pemerataan kesempatan mengakses pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur ditinjau dari komponen konteks, input, proses dan produk.
2) Kelebihan dan kelemahan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur.
3) Kendala yang dihadapi oleh pemerintah kabupaten Lombok Timur khususnya pengelola program dalam mengimplementasikan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan.
4) Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Lombok Timur khususnya pengelola program untuk menganggulangi kendala dan hambatan dalam mengimplementasikan program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi.
1) Pihak Pemberi Dana (Funding) – DBEP: dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan program pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan dasar, khususnya melalui program pemberian bantuan pembiayaan pendidikan, khususnya yang dialokasikan dalam bentuk beasiswa.
2) Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (DPK) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten Lombok Timur: dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan dasar pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan, terutama dalam program peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan di kabupaten Lombok Timur yang dialokasikan melalui program pemberian beasiswa.
3) Pihak sekolah penerima bantuan dana: dapat dijadikan sebagai bahan informasi pelaksanaan pemberian beasiswa di tingkat sekolah, serta dapat dijadikan sebagai instrumen sinkronisasi dan koreksi terhadap program kebijakan pemerintah dengan program kebijakan sekolah.
4) Masyarakat (Orang tua siswa) dan stakeholder lainnya: dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai program pemberian beasiswa, dan sebagai alat penyadaran masyarakat tentang program-program kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
5) Peneliti lainnya: dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan dalam penulisan/penelitian berikutnya.
1.7 Implikasi Terhadap Kebijakan
Hasil penelitian yang dilakukan ini, berimplikasi terhadap proses perencanaan dan pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah daerah (pengelola program), khususnya dalam menilai kelayakan dan kesesuaian pelaksanaan program/proyek dengan visi misi pendidikan di kabupaten Lombok Timur. Sedangkan bagi pihak pengelola program ditingkat sekolah, hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam menyusun alokasi anggaran pembiayaan maupun dalam penyusunan kriteria-kriteria siswa penerima beasiswa, sehingga pelaksanaan program ini bisa berjalan dengan baik karena didukung oleh data-data yang akurat.
1.8 Asumsi Penelitian
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.
Sudah seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negeri ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres-inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 64 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.
Kajian ini difokuskan pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri-sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
Alasan diadakannya pungutan yang memberatkan itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.
Dari uraian di atas, untuk menanggulangi kesenjangan dalam kesempatan mengakses pendidikan bagi yang kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, adalah dengan jalan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada mereka yang tergolong miskin dan perempuan. Dengan adanya bantuan ini, maka jumlah siswa siswa yang rentan putus sekolah akan berkurang.
Selain itu, dengan adanya beasiswa bagi mereka yang tidak mampu, akan menjadi pendorong bagi masyarakat (orang tua) untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan angka partisipasi sekolah (APS). Karena dengan adanya beasiswa ini masyarakat miskin tidak lagi merasa dibebankan sepenuhnya bagi penyelenggaraan pendidikan anak-anak mereka. Dampak yang paling besar dari pemberian beasiswa ini adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan (sekolah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar