Menulis buku ajar sebagaimana postingan kami minggu lalu, tentu berbeda dengan menulis cerpen, novel dan karya fiksi sebangsanya. Beberapa tips yang bisa dilakukan untuk memulai menulis.
A. Observasi dan Inventarisir Kebutuhan Pembaca (Siswa/Mahasiswa)
Guru atau dosen, tentunya lebih paham apa yang dibutuhkan oleh siswa
atau mahasiswa. Oleh karena itu, menulis bukan hanya sekadar memenuhi
persyaratan kredit point atau untuk penghasilan tambahan semata. Buku yang kita
tulis menunjukkan seberapa professional atau ahlinya kita pada bidang yang kita
ajarkan.
Jadi, apa yang dibutuhkan oleh siswa atau mahasiswa? Jawabannya pasti
mereka butuh informasi, jawaban serta solusi dari keingintahuan atas permasalahan
yang mereka hadapi (Manning, n.d.). Faktanya, selama ini siswa dan mahasiswa lebih
memilih untuk mencari informasi atau sumber belajar via youtube, tiktok atau
media sosial lainnya. Kenapa? Ada beberapa kemungkinan yang bisa diurai sebagai
jawaban atas pertanyaaan kenapa, yaitu: 1) materi yang diajarkan tidak relevan
dengan kebutuhan atau menjawab rasa ingin tahu siswa/mahasiswa, 2) cara
penyampaian guru/dosen sama sekali tidak menarik minat siswa/mahasiswa untuk
belajar, 3) bahasa yang digunakan guru/dosen terlalu tinggi, sementara
siswa/mahasiswa menginginkan penyederhanaan dan kepraktisan, 4) tayangan
Youtube atau media sosial lainnya lebih informative dan kominukatif serta
menyediakan hal-hal baru (up to date).
Selama ini, guru atau dosen kalau mau menulis buku ajar atau menulis apa
saja, bawaannya seriuuuus banget, tegang dengan aturan penulisan yang
membelenggu. Apalagi guru matematika, yang kesehariannya bergelut dengan angka,
jangankan menulis, mau masuk kelas aja, bawaannya menakutkan. Udah gitu,
siswanya gak paham dengan apa yang disampaikan, mau bertanya takut, mau
menjawab pertanyaan juga takut. Akhirnya, siswa pada diam mendengarkan, tangan
dilipat, pandangan lurus ke depan dengan kening yang berkerut seakan memikirkan
apa yang disampaikan guru. Padahal, dalam hati kecil mereka, “lonceng/bel
istirahat, kok lama banget?”
Cerita di atas, tidaklah benar semuanya (bisa jadi pengalaman pribadi
penulis semata), namanya juga cerita. Postingan kali ini mencoba mengurai keruetan akibat keseriusan yang kurang jelas, yang mengakibatkan kita
enggan menulis dan membaca. “Menjadi diri sendiri adalah lebih baik daripada
menjadi diri yang lain”. Bukankah demikian nasihat bijak yang seringkali muncul
di sela-sela proses belajar mengajar di kelas? Bukan berarti kami menganjurkan,
agar guru/dosen mengabaikan aturan penulisan, tapi yang kami maksudkan di sini
adalah menulis jangan sampai lupa bahagia.
Menulis bahan ajar, seperti dikat, modul, buku ajar, buku referensi,
monograf ataupun menulis laporan penelitian tindakan kelas, masih dipandang
sebagai beban di luar tugas-tugas rutin administrative pembelajaran. Padahal,
jika direnungkan sejenak, semua aktifitas guru/dosen, baik di rumah maupun di
sekolah/kampus sebenarnya satu kesatuan aktifitas. Artinya, menulis buku ajar,
melakukan penelitian dan pembelajaran diselenggarakan dalam satu waktu yang
bersamaan. Karena sebelum mengajar, guru/dosen pasti menyusun rencana
pembelajaran yang berisi semua aktifitas dan materi serta penilaian untuk
pertemuan tersebut.
Sebagai contoh, misalnya saya mengampu mata kuliah “Statistik
Penelitian” dengan pertemuan sebanyak 14 kali pertemuan. Materi yang ditentukan
dalam kurikulum pembelajaran ada 6 tema, yaitu 1) statistic desktiptif, 2)
populasi dan sampel, 3) uji asumsi, 4) Pengujian hipotesis, 5) uji komparatif,
6) korelasi dan regresi. Jauh hari sebelum mulai masuk perkuliahan, saya sudah
siapkan buku ajar untuk seluruh tema yang akan saya ajarkan. Sayang sekali,
buku tersebut baru bisa selesai bersamaan dengan lulusnya mahasiswa yang ikut
perkuliahan saya. Hal itu terjadi karena antara menulis buku dan proses belajar
mengajar masih terpisah (kegiatan yang berbeda).
Waktu itu penerbit menyarankan kepada saya, agar buku yang saya tulis
jangan terlalu tebal, tipis-tipis saja, biar pembaca tidak jenuh dan penulisan
buku bisa cepat. Sekian kali bertemu, sekian kali juga nasihat itu saya
dengarkan. Akhirnya, saya menemukan cara yang lebih efektif dan efisien, yaitu
menulis buku seringkas mungkin, antara 40 sampai 100 halaman, isinya dibuat
sesuai tema/materi pembelajaran, dengan 6 (enam) tema sebagaimana contoh di
atas, dapat dibuat buku sebanyak 6 judul buku berisi contoh-contoh yang up
to date. Beberapa alasan dan kelebihan trik ini menurut pengalaman (Jurchenko, 2019), yaitu.
1. Buku yang lebih ringkas memungkinkan penulis
menerbitkan bukunya dengan cepat. Keuntungan cepat’ ini
menghasilkan
momentum, dan momentum adalah sekutu yang kuat.
2. Buku yang ringkas (tipis) juga memberikan keuntungan
kepada pembaca, yaitu dengan mengubah karya agung Anda menjadi serangkaian
gigitan yang mudah dicerna.
3. Serangkaian buku yang lebih pendek memungkinkan penulis
mendapatkan dan memanfaatkan umpan balik dari pembaca serta memberi audiens
lebih banyak dari apa yang mereka inginkan.
4. Dari segi penjualan, buku yang tipis (di bawah 100
halaman) lebih laku terjual, karena minim biaya (murah) dan minim resiko,
meskipun hal ini tidak selalu benar, karena karakteristik pembaca sangat
beragam.
Buku tematik memiliki banyak keunggulan, di antaranya minim
biaya dan risiko serta informasi terbaru menjadikan buku yang kita tulis lebih fresh.
Begitulah pengalaman bagaimana memulai menulis buku sebagai satu kesatuan
aktifitas dengan pembelajaran. Pada akhir semester, buku tentang mata kuliah “Statistik Penelitian” itu pun jadi dengan
menggabungkan semua buku tematik yang sudah dibuat pada setiap pertemuan,
tentunya dengan sedikit perbaikan pada contoh-contoh atau hal-hal yang sifatnya
substansial. Intinya, pada awal menulis adalah momentum kecepatan.
Fokus pada satu tema, bagian yang kita
tinggalkan akan menjadi buku berikutnya (Jurchenko, 2019). Pembaca (siswa/mahasiswa) yang sibuk, tidak
punya waktu untuk mempelajari segala sesuatu tentang mata pelajaran yang dia
pelajari. Karena itu, mereka mencari buku yang menekankan area di mana mereka
ingin berkembang..
B. Segmentasi Pembaca
Setelah mempelajari kebutuhan pembaca dan menginventarisir segala
sesuatunya yang berkenaan dengan kemampuan dan daya dukung penulis sendiri.
Penulis perlu melakukan segmentasi atau target pembaca dari buku yang mau
ditulis, misalnya: Guru, Dosen, Pemuda, Pelajar, Petani, Buruh, Mahasiswa dan
lain sebagainya. Target dan sasaran pembaca sangat membantu kita untuk memilih
kata (diksi), struktur kalimat dan tentunya gaya bahasa yang digunakan.
Buku ajar memiliki segmen yang sudah jelas yaitu siswa atau mahasiswa
yang mengikuti pembelajaran, begitu juga dengan buku referensi atau monograf.
Lain halnya dengan menulis Novel, Cerpen dan saudara-saudaranya, cerita dan
formatnya berbeda. Penulis harus mampu memetakan segmen calon pembaca buku yang
ditulisnya.
Pengalaman mengajar dan menulis bahan ajar, menjadi peta yang jelas
(kalaupun kabur, ya kabur-kabur dikit lah), bagaimana menulis buku ajar atau
referensi yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa atau khalayak. Ternyata,
menulis buku ajar atau buku referensi (non fiksi) itu jauh lebih mudah bila
dibandingkan dengan menulis cerpen, puisi, novel atau scenario film. Karena
buku ajar atau referensi adalah tugas rutin guru sebelum, selama dan setelah
mengajar. Mulai dari menyusun kurikulum, silabi, rencana pembelajaran, menyusun
materi ajar, melakukan penilaian dan seterusnya.
Sebaliknya, bagi kawan-kawan yang suka ‘ngecuprus’ (bercerita), mungkin
memiliki pandangan sebaliknya. Mereka kalau sudah ketemu ide dan mood-nya
lagi on, bisa nulis novel sampai berjilid-jilid dan dibaca pun enak,
ngalir seperti air. Bahkan kondisi yang sangat tidak mood atau gak
mengenakkan sama sekali, bisa menjadi kisah yang indah dibaca.
C. Memunculkan Ide/Gagasan
Memunculkan ide atau gagasan menjadi bagian terberat
dari tahapan menulis, bahkan bagi mereka yang ahli menulis sekalipun. Ide
mengikuti cara pandang, kebiasaan, wawasan dan pengetahuan kita atau bahkan
pengalaman (baik/buruk) yang kita lalui. Ide/gagasan sangat erat kaitannya
dengan berpikir kritis dan kreatif, itulah sebabnya kenapa ide tidak pernah
datang dengan sendirinya atau seperti slogan film horror “datang tak diundang,
pulang tak diantar”.
Ide memberi arah agar tulisan kita lancar dan enak
dibaca, kekurangan ide bisa menjadikan kita sebagai penulis seringkali
mengalami stuck (macet), baik di saat baru memulai, di tengah proses
penulisan, dan pada tahap akhir (finishing). Di awal memulai tulisan, stuck seringkali terjadi karena perasaan takut,
cemas dan isu-isu negative tentang kemampuan diri alias tidak percaya diri.
Kedua, pada saat menulis (pertengahan proses), kemacetan (stuck) terjadi
pada tahap pertengahan, disebabkan karena kurangnya penelitian/pengkajian, dan
juga karena kurangnya pengetahuan (jarang membaca karya orang lain). Ketiga,
pada tahapan finishing, penulis mengalami stuck karena faktor
kelelahan, dan membayangkan tulisan kita tidak diterima, dan sebagainya
(Joanna, 2015).
Sistem pendidikan yang muncul di era digital sekarang
ini, tidak ubahnya seperti persaingan bisnis yang hyper-competition. Sejumlah
besar lembaga pendidikan (negeri ataupun swasta), semuanya bersaing untuk
mendapatkan peserta didik. Begitu banyak pilihan dan layanan yang ditawarkan,
program layanan baru muncul setiap hari dan siklus hidup program layanan
semakin pendek. Sementara pada saat yang sama sebagian besar informasi
disediakan secara gratis melalui internet.
Perkembangan terakhir yang membuat kita
tercengang dan merasa semakin tertinggal adalah program pendidikan yang dirilis
oleh Google (https://www.coursera.org/), pendidikan yang sangat murah dengan waktu
yang sangat fleksibel (sesuai pebelajar), belajar hanya 6 bulan saja dan siswa
atau mahasiswa mendapatkan ijazah. Boooooom…… Setelah lulus, Google menjamin
alumninya langsung mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang juga menjanjikan. Akan
bagaimana nasib sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia? Simpan jawaban Anda,
hingga Anda mulai menuliskannya menjadi rangkaian informasi yang jauh lebih
menarik dan tentunya lebih menjanjikan di banding Google.
D. Mengumpulkan Bahan Bacaan (Literatur) Pendukung
Tahapan yang tidak kalah pentingnya dari langkah-langkah sebelumnya
adalah mengumpulkan bahan bacaan (literature) pendukung, artikel hasil
penelitian, informasi terbaru berkenaan dengan tema yang akan ditulis, dan
sebagainya. Zaman yang serba canggih sekarang ini, membuat kita tidak terlalu
menghabiskan energy untuk sekadar mencari sumber informasi, hampir semuanya
tersedia di internet. Situs-situs penyedia layanan buku gratis dan berbayar
berlimpah, tinggal download, dan tentunya yang lebih penting dari sekadar
mendownload buku-buku tersebut yaitu membaca. Saya biasa mendownload buku di sistus http://libgen.rs/.
Sayangnya, situs ini menyediakan jumlah buku berbahasa Indonesia yang
masih terbatas, begitu juga dengan jumlah buku yang bisa didownload (5 buku/hari
untuk pendatang/tamu, 10 buku/hari bagi member, selebihnya berbayar).
E. Memulai Menulis
Agar isi tulisan lebih runut dan sistematis, sebelum mulai menulis sebaiknya buat dulu Kerangka Tulisan.Masalah format penulisan, Anda bisa baca panduan penulisan buku ajar sesuai dengan tingkatan (SD-SMA atau Perguruan Tinggi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar