Lima belas tahun yang lalu, aku dibuat penasaran dengan pertanyaan seorang kawan yang memang agak-agak miring dikit mikirnya. "Bang, gimana caranya jualan es di kutub utara" (sambil garuk-garuk kepala cengengesan). Awalnya aku merasa kalau pertanyaan itu sebenarnya gak mutu banget, saking tidak mutunya membuatku tidak bisa tenang, sampai tidur pun masih kepikiran dengan pertanyaan itu.
"Dasar sedeng (gila-Jawa)" gumamku dalam hati, namun itu tidak membuatku menjadi lebih tenang. Ada sesuatu yang menarik akal sehatku untuk menerima pertanyaan itu sebagai sesuatu yang sangat bernilai. Menjual es di tempat yang hampir seluruh daratannya ditutupi oleh salju (es) seperti menabur garam di tengah lautan.
Hari dan bulan berganti, aku hidup di Bali untuk melanjutkan studi. Seorang perempuan setengah baya mendekati ku dan bertanya "Dek, mahasiswa yaaa?" dengan gaya sok kenal sok dekat gitu. "Ough...iya mbak, gimana?" jawabku dengan sedikit kikuk. Entah gimana alurnya, dia memperkenalkan diri, bercerita ini itu, kesana kemari, pokoknya seperti orang yang sudah kenal sangat lama. Parasnya yang lumayan cantik dan bahenol, membuatku tidak merasakan bosan, apalagi kebelet pipis. Aku tidak tertarik dengan apa yang dibicarakan, mata ku hanya fokus memandangi bibir tipisnya yang....entahlah...
"Mas Aldi, kapan-kapan main ke tempatku, mau gak?" dia bertanya dengan santai, seraya menghisap rokok yang sedari tadi dimainkan dengan jemarinya yang lentik. "emang mbak rumahnya dimana?" aku balik nanya. "di Kutub Utara mas" jawabnya singkat tanpa memperdulikan tatapanku yang mulai nakal. "Gimana caranya menjual es di kutub utara?" tanyaku lagi. "Ha.ha.ha...pertanyaan gampang, sini tak kasih tahu" ungkapnya sambil mendekat dan berbisik. Semakin jelas terlihat gundukan daging di antara sobekan kain baju yang dikenakannya.
Sejak pertemuan malam itu, kutub utara menjadi saksi bisu. Bahwa mimpi itu membuat semuanya menjadi mungkin dan terlihat seperti nyata.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar