Dulu... sekali..dua atau tiga generasi yang lalu, orang belajar sesuai kesenangan atau kesukaan (minat)nya mau belajar apa dan mau menjadi siapa? Sebelum gedung-gedung bertingkat yang begitu megah itu berdiri, mereka belajar sambil bermain di alam terbuka. ”Aku dapat satu....” kata seorang bocil sambil memegang tawon madu seraya memasukan bokong tawon itu ke dalam mulutnya yang mungil, cairan manis kemudian mengalir di antara tenggorokannya yang sedari tadi kekeringan. ”Eh...coba lihat, aku menemukan ubi” teriak bocil yang satunya lagi. Tangan kirinya belepotan dengan tanah, sementara tangan kanannya memegang ranting pohon yang digunakannya menggali.
Anak-anak lainnya asyik bermain di
bawah guyuran hujan, membuka mulut mereka lebar-lebar menengadah ke langit
tanpa batas, mata mereka terpejam, tangannya terlentang. Terlihat ada
kebahagiaan yang amat sangat di raut wajah mereka yang tanpa takut masuk angin,
tersambar bledek (petir), atau apalah yang menghalangi mereka untuk menikmati
semua rasa dan kebebasan itu.
”Coba bokongmu seperti lebah madu,
pasti jadi rebutan” celetuk si Rama, bocil yang paling usil.
”Kok bisa ya, pantat manusia lebih
busuk dari pantat lebah?” imbuh Markonah, sambil cengengesan.
”iya, ya... kok bisa?” Munirah
menimpali dengan wajah mengkerut, seakan memikirkan nasib satu bangsa, padahal
dia Cuma ingin terlihat serius.
”Bokong manusia kan lebih besar dari
bokong tawon, semakin besar bokong pastinya semakin pahit” celoteh Paijo dengan
santainya. Suara kayu bakar yang membara seolah-olah mempertanyakan argumennya
yang nyeleneh.
”Apa hubungannya rasa manis dengan
besarnya bokong?” tanya si Rama memperbaiki posisi duduknya.
”Lhaa..kan aku berusaha memperjelas
omonganmu siiiih...kamu tadi kan bilang, coba bokongmu seperti lebah madu,
pasti jadi rebutan. Berarti kan semakin kecil bokong pasti jadi rebutan, bener
kan?” jawab si Paijo tidak mau kalah.
”Halaaaah udah ah... bokong manis apa
pahit, nih makan aja” pungkas Munirah, menggeletakkan ubi bakar dan belut yang
setengah gosong dihadapan kerumunan bocil itu.
Prolog di atas, saya rasa cukup mengantarkan kawan-kawan
kepada jawaban mengenai mungkin atau mustahilnya pendidikan dasar dan menengah
berbasis riset. Maksud saya adalah bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita
benar-benar mengkaji sesuatu itu dengan pikiran dan kehendak bebas sebagai
manusia yang berakal. Diskusi anak-anak di tengah sawah itu, sedikit tidaknya
menggambarkan betapa hidup kita ini bergantung dari hasil riset baik itu dengan
metode trial dan error, atau riset yang memang lahir dari sesuatu kekonyolan.
Pertanyaan dan argumen konyol itulah dasar dari sebagian ilmu yang sekarang ini
kita katakan sebagai kebenaran.
Kawan-kawan bisa membayangkan betapa
anak-anak kecil dalam prolog di atas, bermain sambil meneliti, meneliti sambil
bermain, yang kemudian menghasilkan kesepahaman atau kontradiksi pemikiran
sederhana mereka. Its OK, semuanya berjalan natural dalam suasan riang gembira.
Tidak ada aturan yang memaksa mereka harus mendiskusikan A, B atau Z. Tidak ada
guru atau dosen yang mengarahkan mereka harus seragam mulai dari isi kepala
sampai pakaian dan tidak ada satupun ide/gagasan ”setelah bermain dan diskusi
konyol itu, mereka akan jadi apa?” Yang ada hanyalah kehendak bebas untuk
menjadi apa yang mereka inginkan, belajar sesuatu yang mereka sukai, sebab
hidup adalah pilihan.
Kawan-kawan, saya sengaja
menghadirkan prolog yang mungkin sangat tidak bermutu, dari ketidakbermutuannya
itulah teori berikut ini muncul:
”Segala
sesuatu di dunia ini memiliki tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui
(proses), tahapan-tahapan itu membentuk pola, pola membangun gambar, gambar itu
dapat dicitrakan dari berbagai sudut pandang. Sudut pandang yang berbeda
tergantung tahapan pembentuknya
(proses). Jadi, hidup adalah proses, hidup adalah perjuangan, hidup adalah perbuatan, hidup adalah kehidupan itu
sendiri”
Sayangnya, pilihan-pilihan bebas itu
kemudian tercerabut dan dipenjara oleh keserakahan otoritas pemilik
gedung-gedung sekolah yang megah dengan bayaran yang sangat fantastis! ”belajar
hanya memasang baut bisa ditempuh sampai 6 hingga 8 semester. Setelah mereka
lulus, ternyata mereka tidak tahu yang mana baut dan mana mur.” kritik seorang
warga Samborejo yang menjadi pengusaha sukses dengan pendidikan tamat SD. Saya
rasa kegamangan berpikir inilah kemudian yang melahirkan topik malam ini,
mungkinkah? Begitu saya menerima informasi tentang topik tersebut, yang ada di
otak saya adalah judul lagu dari Stinky,”mungkinkah?” lalu pertanyaan saya
berikutnya, ”ini materi yang dibutuhkan seperti apa?” si pengantar berita malah
memberi saya dua contoh artikel yang sudah dipresentasikan sebelumnya. Di dalam
hati, saya bergumam ”bla..bla..bla”
Kawan-kawan, topik kita berbicara
tentang pendidikan berbasis riset. Topik yang sangat luar biasa jika tidak
diimbuhi pertanyaan ”mungkinkah?” sekali lagi saya sampaikan kepada kawan-kawan
bahwa ubi, belut, belalang dan semua yang kita makan hari ini, telah memakan
begitu banyak korban sebelum ia dipastikan sebagai tumbuhan atau hewan yang
aman dikonsumsi. Kedua, sejak zaman nabi Adam, manusia bertindak dengan akal
pikiran sesuai dengan tanda alam atau perilaku mahluk yang terindera saat itu,
bagaimana kemudian Khobil ditimbun dengan tanah oleh Qobil setelah melihat
pertarungan maut dua ekor gagak. Manusia belajar dari alam, tumbuhan, hewan dan
segala ciptaan Tuhan, dan itu tanpa pembatasan! Hingga kemudian belajar itu
disematkan pada buku, gedung, seragam, meja, kursi dan segala yang bisa
melahirkan profit secara ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar