Senin, 14 Agustus 2023

Pendidikan Dasar dan Menengah Berbasis Riset, Mungkinkah?

 Dulu... sekali..dua atau tiga generasi yang lalu, orang belajar sesuai kesenangan atau kesukaan (minat)nya mau belajar apa dan mau menjadi siapa? Sebelum gedung-gedung bertingkat yang begitu megah itu berdiri, mereka belajar sambil bermain di alam terbuka. ”Aku dapat satu....” kata seorang bocil sambil memegang tawon madu seraya memasukan bokong tawon itu ke dalam mulutnya yang mungil, cairan manis kemudian mengalir di antara tenggorokannya yang sedari tadi kekeringan. ”Eh...coba lihat, aku menemukan ubi” teriak bocil yang satunya lagi. Tangan kirinya belepotan dengan tanah, sementara tangan kanannya memegang ranting pohon yang digunakannya menggali.

Anak-anak lainnya asyik bermain di bawah guyuran hujan, membuka mulut mereka lebar-lebar menengadah ke langit tanpa batas, mata mereka terpejam, tangannya terlentang. Terlihat ada kebahagiaan yang amat sangat di raut wajah mereka yang tanpa takut masuk angin, tersambar bledek (petir), atau apalah yang menghalangi mereka untuk menikmati semua rasa dan kebebasan itu.

Tidak lama setelah hujan mulai mereda, anak-anak itu berkumpul di rumah petani tua, di tengah hamparan sawah yang begitu luas. Ada yang menyiapkan kayu bakar, mencuci ubi, belut, belalang dan semua hasil tangkapan mereka hari itu. Anak yang lainnya menyiapkan gelaran sambil tertawa, bercerita tentang keasyikan yang mereka rasakan. Sesekali saling meledek, perang kentut jadi musik pengiring, dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal. Salah seorang anak memaksa kentut, namun yang keluar malah cairan kuning keabu-abuan. 

”Coba bokongmu seperti lebah madu, pasti jadi rebutan” celetuk si Rama, bocil yang paling usil.

”Kok bisa ya, pantat manusia lebih busuk dari pantat lebah?” imbuh Markonah, sambil cengengesan.

”iya, ya... kok bisa?” Munirah menimpali dengan wajah mengkerut, seakan memikirkan nasib satu bangsa, padahal dia Cuma ingin terlihat serius.

”Bokong manusia kan lebih besar dari bokong tawon, semakin besar bokong pastinya semakin pahit” celoteh Paijo dengan santainya. Suara kayu bakar yang membara seolah-olah mempertanyakan argumennya yang nyeleneh.

”Apa hubungannya rasa manis dengan besarnya bokong?” tanya si Rama memperbaiki posisi duduknya.

”Lhaa..kan aku berusaha memperjelas omonganmu siiiih...kamu tadi kan bilang, coba bokongmu seperti lebah madu, pasti jadi rebutan. Berarti kan semakin kecil bokong pasti jadi rebutan, bener kan?” jawab si Paijo tidak  mau kalah.

”Halaaaah udah ah... bokong manis apa pahit, nih makan aja” pungkas Munirah, menggeletakkan ubi bakar dan belut yang setengah gosong dihadapan kerumunan bocil itu.

 Pendidikan, Dasar, Menengah, Basis, Riset

Prolog di atas, saya rasa cukup mengantarkan kawan-kawan kepada jawaban mengenai mungkin atau mustahilnya pendidikan dasar dan menengah berbasis riset. Maksud saya adalah bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita benar-benar mengkaji sesuatu itu dengan pikiran dan kehendak bebas sebagai manusia yang berakal. Diskusi anak-anak di tengah sawah itu, sedikit tidaknya menggambarkan betapa hidup kita ini bergantung dari hasil riset baik itu dengan metode trial dan error, atau riset yang memang lahir dari sesuatu kekonyolan. Pertanyaan dan argumen konyol itulah dasar dari sebagian ilmu yang sekarang ini kita katakan sebagai kebenaran.

Kawan-kawan bisa membayangkan betapa anak-anak kecil dalam prolog di atas, bermain sambil meneliti, meneliti sambil bermain, yang kemudian menghasilkan kesepahaman atau kontradiksi pemikiran sederhana mereka. Its OK, semuanya berjalan natural dalam suasan riang gembira. Tidak ada aturan yang memaksa mereka harus mendiskusikan A, B atau Z. Tidak ada guru atau dosen yang mengarahkan mereka harus seragam mulai dari isi kepala sampai pakaian dan tidak ada satupun ide/gagasan ”setelah bermain dan diskusi konyol itu, mereka akan jadi apa?” Yang ada hanyalah kehendak bebas untuk menjadi apa yang mereka inginkan, belajar sesuatu yang mereka sukai, sebab hidup adalah pilihan.

Kawan-kawan, saya sengaja menghadirkan prolog yang mungkin sangat tidak bermutu, dari ketidakbermutuannya itulah teori berikut ini muncul:

”Segala sesuatu di dunia ini memiliki tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui (proses), tahapan-tahapan itu membentuk pola, pola membangun gambar, gambar itu dapat dicitrakan dari berbagai sudut pandang. Sudut pandang yang berbeda tergantung tahapan pembentuknya  (proses). Jadi, hidup adalah proses, hidup adalah perjuangan, hidup  adalah perbuatan, hidup adalah kehidupan itu sendiri”

 

Sayangnya, pilihan-pilihan bebas itu kemudian tercerabut dan dipenjara oleh keserakahan otoritas pemilik gedung-gedung sekolah yang megah dengan bayaran yang sangat fantastis! ”belajar hanya memasang baut bisa ditempuh sampai 6 hingga 8 semester. Setelah mereka lulus, ternyata mereka tidak tahu yang mana baut dan mana mur.” kritik seorang warga Samborejo yang menjadi pengusaha sukses dengan pendidikan tamat SD. Saya rasa kegamangan berpikir inilah kemudian yang melahirkan topik malam ini, mungkinkah? Begitu saya menerima informasi tentang topik tersebut, yang ada di otak saya adalah judul lagu dari Stinky,”mungkinkah?” lalu pertanyaan saya berikutnya, ”ini materi yang dibutuhkan seperti apa?” si pengantar berita malah memberi saya dua contoh artikel yang sudah dipresentasikan sebelumnya. Di dalam hati, saya bergumam ”bla..bla..bla”

Kawan-kawan, topik kita berbicara tentang pendidikan berbasis riset. Topik yang sangat luar biasa jika tidak diimbuhi pertanyaan ”mungkinkah?” sekali lagi saya sampaikan kepada kawan-kawan bahwa ubi, belut, belalang dan semua yang kita makan hari ini, telah memakan begitu banyak korban sebelum ia dipastikan sebagai tumbuhan atau hewan yang aman dikonsumsi. Kedua, sejak zaman nabi Adam, manusia bertindak dengan akal pikiran sesuai dengan tanda alam atau perilaku mahluk yang terindera saat itu, bagaimana kemudian Khobil ditimbun dengan tanah oleh Qobil setelah melihat pertarungan maut dua ekor gagak. Manusia belajar dari alam, tumbuhan, hewan dan segala ciptaan Tuhan, dan itu tanpa pembatasan! Hingga kemudian belajar itu disematkan pada buku, gedung, seragam, meja, kursi dan segala yang bisa melahirkan profit secara ekonomi.

Pertanyaan yang ada ditopik ini saya coba balik menjadi, ”mungkinkah pendidikan kita berbasis pabrik robot-robot ceria?” sebab, kata tanya dalam topik yang dipajang malam ini, menurut saya gak perlu dijawab, sudah terjawab dengan sendirinya. Tidak ada pendidikan apapun tanpa riset, riset adalah dasar dari segala ilmu dan prakteknya dalam kehidupan. Hanya saja, pendidikan kita sekarang ini seperti mayat berjalan. Itu saja yang bisa saya sampaikan, tidak perlu panjang lebar yang penting kawan-kawan bersedia bahagia berpikir dan belajar. 

Tidak ada komentar: