Selasa, 19 Januari 2010

DUNIA PENDIDIKAN DALAM MENYONGSONG PERDAGANGAN BEBAS

Era tanpa batas, era postmodern... kini menjadi kenyataan yang tidak bisa terbantahkan. Di mana batas-batas antar negara semakin samar (tipis), semua orang berhak melakukan kegiatan di segala sektor dengan kemampuan yang dimilikinya, baik pedagang sayur maupun pengusaha bermodal besar.
Dengan demikian persaingan bukan lagi antar negara tetapi antar indvidu. Sehingga tidak bisa dihindarkan lagi akan berdampak besar terhadap kehidupan pribadi masyarakat sebagai bagian terbesar dalam proses kehidupan umat manusia. Maka sangat layak ketika seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa ”orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dalam sektor pendidikan (investasi jangka panjang) akan terseok-seok dan tergilas oleh roda zaman yang bergerak secara masif dan radikal.
Ada kekhawatiran yang sangat, ketika era perdagangan bebas ini mulai diberlakukan, masyarakat Indonesia umumnya belum siap untuk bertarung secara bebas sebagaimana yang diharapkan. Terlalu banyak kekurangan yang selama ini kita abaikan dan mungkin tidak pernah terbayangkan apalagi terpikirkan oleh kita semua. Bahwa tingkat pendidikan masyarakat (SDM) kita masih jauh dari prasyarat untuk masuk ke kancah persaingan dunia yang selama ini ibarat ”hutan berantah” yang tidak terjamah. Semua ini tidak lain dikarenakan, sebagian besar dari pengelola negara ini, terlalu disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang hanya mengejar target kemapanan individual, sebagiannya lagi sibuk berpikir tentang bagaimana langkah yang paling aman untuk menjajah rakyatnya sendiri dengan cara-cara yang tidak halal alias korup.
Di banyak perguruan tinggi, mahasiswa belajar bukan untuk mengetahui lebih banyak dari apa yang tidak diketahui, tetapi mereka masuk ke dalam sebuah fakultas karena melihat peluang untuk diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) lebih banyak, akibatnya, ketika guru begitu dibutuhkan banyak perguruan tinggi kemudian membuka lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK) dengan jumlah mahasiswa baru yang tidak main jumlahnya namun dari segi kualitas masih sangat minim. Bisa dibayangkan, karakter lulusannya seperti apa?
Maka wajar saja, ketika mereka secara konkrit terjuan ke dunia pendidikan, yang mereka pikirkan sebenarnya bukanlah, bagaimana mendidik anak didik sebagai manusia-manusia yang berkualitas, yang mempu bersaing dengan negara-negara lain, tetapi yang terpikir adalah bagaimana modal (biaya kuliah) yang sudah terbayarkan bisa kembali dengan keuntungan yang berlipat. Lalu untuk memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh negara tentang profesionalitas melalui program sertifikasi guru, banyak guru-guru tadi yang tidak jujur terhadap diri sendiri, baik dengan mengikuti sekolah kelas jauh (filial), ataupun merekayasa sertifikat dan piagam penghargaan. Nauzubillahi min zaliq.
Sedangkan sebagian besar dari mahasiswa (lulusan) tadi, banyak yang tidak bisa terangkat menjadi guru/PNS, bukan berarti karena mereka tidak mampu menjadi guru, tetapi hal ini karena memang mereka tidak punya channel pada top leader yang diandalkan di daerahnya. Wal hasil, mereka-mereka ini semakin menambah deretan angka pengangguran yang tidak terbayangkan jumlahnya di negeri ini.
Lalu, semua kita (kalau boleh dikatakan demikian) sekarang ini terkesima dengan mata terbelalak melihat kenyataan yang ada didepan mata kita. Walaupun sebagian besar dari kita juga banyak yang tidak menyadari akan hal ini ”PERDAGANGAN BEBAS”. Apa yang bisa kita lakukan untuk membalik kondisi sekarang menjadi lebih baik (seimbang) dengan negara-negara maju? atau paling tidak bisa mengejar ketertinggalan kita akibat kesombongan, kerakusan, kepongahan, dan tingkah laku kita yang tidak pernah memikirkan sesama kita untuk maju bersama-sama menyongsong hari esok yang lebih baik. ”Pancasila bukanlah rumus buntut, Sang Merah Putih bukanlah kain pembalut”, teriak Iwan Fals dalam sebuah langunya.
Jawaban ideal yang mesti kita pertegas adalah kita harus ’mereformasi’ (bukan ’mengadposi’) sistem pendidikan kita secepat mungkin. Negara ini bisa kembali berjaya di mata dunia ketika pendidikan benar-benar dijalankan untuk memanusiakan manusia. Untuk itu kita membutuhkan tenaga pendidikan yang benar-benar ikhlas berjuang, yang rela mengorbankan hidupnya untuk mencerdaskan sesama, ”GURU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA...” harus mendarahdaging dalam jiwa dan raga kita, yang bisa menjadi penyemangat dalam setiap gerak langkah kita demi mewujudkan INDONESIA yang BERMARTABAT...
Tetapi, apakah mungkin kita mampu merombak tatanan pendidikan yang sudah demikian semeraut ini dalam waktu yang begitu singkat dengan tindak korupsi yang kian meningkat di kalangan para pejabat? Mungkinkah perbaikan sistem pendidikan mampu memberikan kita kekuatan untuk mengimbangi keganasan globalisasi? Tidak ada kata-kata tidak mungkin di atas dunia ini, kecuali kita juga termasuk orang-orang yang mendukung (kecipratan) perbuatan-perbuatan kotor yang terjadi di sekeliling kita atau memang kita sudah tidak punya nurani dan tidak memiliki otak untuk berpikir secara arif dan bijaksana. BERSAMBUNG....!

1 komentar:

Marleny mengatakan...

enak baca tulisan sdr...thks, (eh iya, izin share ya,hehe)