Sabtu, 09 Januari 2010

UJIAN NASIONAL "BERKAH ATAUKAH MUSIBAH"

Kisruh Pendidikan semakin menjadi-jadi, mulai dari masalah sekolah filial (kelas jauh), sistem sertifikasi, sampai kepada masalah Ujian Nasional yang akhir-akhir ini marak dibicarakan, bahkan telah menjadi satu kasus hangat di Mahkamah Agung. Ada apa sebenarnya dalam sistem pendidikan nasional kita? ataukah lembaga-lembaga pendidikan yang ada sekarang ini tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya? atau mungkin semua ini adalah imbas dari pelaksanaan otonomi daerah yang mengakibatkan daerah-daerah anti terhadap sesutau yang berbau pusat?

Dua kutub yang berlawanan mengenai pelaksanaan UN terus saja membangun diri dan berupaya mempengaruhi semua pihak (pejabat, guru, dan masyarakat). dengan alasan-asalan yang begitu dramatis dan menyimpang dari kebenaran mengenai UN itu sendiri, dari pihak Departemen Pendidikan Nasional, hampir tidak ada jawaban yang pasti mengenai kenapa UN harus dilaksanakan, jawabannya lebih banyak terpengaruh oleh isu dan dugaan-dugaan para pakar yang mengklaim pelaksanaan pendidikan di negara ini lebih mendahulukan proyek semata, bukan pada peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Jawaban-jawabannya berkisar pada kepentingan negara untuk mengetahui mutu pendidikan secara nasional yang kemudian dijadikan sebagai patokan dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan kurikulum dan anggaran, benarkah demikian?
Sedangkan dari pihak yang kontra terhadap UN (sebagian besarnya para guru) mengklaim UN sangat merugikan pihak sekolah dan pihak siswa, banyak siswa yang pintar di kelas ternyata tidak lulus UN sebaliknya ada anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja mampu menunjukkan bahwa mereka bisa melebihi yang pintar matematika dan fisika. Lantas benarkah siswa dan guru dirugikan? dari sisi yang mana? seandainya guru-guru diserahkan untuk melaksanakan Ujian sebagaimana yang diharapkan yaitu dilaksanakan oleh sekolah apakah guru-guru kita telah mampu melakukan itu dengan profesional? artinya jangan sampai kita terjebak kepada penafsiran-penafsiran yang subyektif dan menyesatkan, contoh dari kondisi ini telah banyak yang bisa diambil dari sekian banyak kejadian di tanah air, ketika otonomi daerah diberlakukan, banyak kemudian lahir tuhan-tuhan kecil yang maha sombong dan korup di daerah-daerah, kolusi dan nepotisme menjadi corak yang tidak bisa dihindarkan. Dari kenyataan ini, apakah menghapus UN akan menguntungkan pihak siswa dan orang tua? TIDAK...!, malah dengan menghapus UN sama saja artinya memberikan para kepala sekolah dan guru-guru berbuat dosa tambahan dari sekian banyak kesalahan akibat ketidakmampuan mereka dalam mencerdaskan siswa didik. Alasan guru yang mengatakan bahwa materi UN tidak sesuai dengan apa yang diajarkan menunjukkan bahwa guru-guru kita belum mampu mengelola pembelajaran di kelas dengan baik, kemampuan siswa baru hanya sampai pada kemampuan mengerti bukan memahami materinya! bagaimana siswa bisa cerdas kalau ngajarnya main kejar-kejaran dengan target kurikulum? bagaimana siswa bisa pintar kalau guru hanya menganggap tugas mereka telah selesai di ruang kelas?
Apa yang diungkap ini bukanlah bertujuan untuk mendiskreditkan guru sebagai tenaga ahli tetapi mari kita berpikir jernih tentang apa yang kita hadapi sekarang ini, pahamilah persoalannya dengan benar baru kita bisa mengambil kesimpulan dengan cara yang bijak dan arif. Jangan karena anggaran UN yang demikian besar kita jadi lupa terhadap tugas dan kewajiban kita. Benarkah kita memperjuangkan nasib siswa? ataukah kita sebagai guru hanya berusaha untuk memperjuangkan kemapanan diri sendiri?
Pernahkah ada gerombolan guru yang berteriak di jalanan dengan mengungkap kasus siswa yang tidak naik kelas dan tidak lulus ujian? gerombolan kita hanya berteriak ketika gaji belum dinaikkan, ketika tunjangan tidak juga dicairkan dan ketika yang berbau uang dan uang tidak secepatnya dilaksanakan.
GURU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.... kata-kata ini ternyata kini hanyalah slogan dan tidak mampu tertanam dalam benak kita sebagai guru diakhir zaman. kenapa? karena sebagian dari kita banyak yang menjadi guru karena tidak ada pekerjaan atau malu disebut pengangguran.
Tetapi kekacauan ini tidak bisa hanya sekadar menyalahkan guru sebagai tenaga pendidikan, pemerintah, masyarakat(orang tua siswa) juga ikut andil dalam membangun pola-pola yang tidak beres dalam dunia pendidikan kita, semua kita ternyata hanya mementingkan diri sendiri (termasuk saya dan anda), kalaupun ada yang benar-benar ikhlas berjuang mencerdaskan kehidupan rakyat itu jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Akhir kata, mari kita duduk bersama (pemerintah, guru, dan masyarakat), ungkaplah semua persoalan pendidikan ini secara bijak, berbicaralah atas nama kebenaran, bertanyalah kepada diri kita sendiri sudahkah kita melaksanakan tugas kita dengan baik? kita harus sadar bahwa Kekacauan ini bukan hanya kesalahan mereka, tetapi kita juga ikut membangun kesalahan-kesalahan ini dan tidak pernah berupaya memperbaikinya.
Buat pemerintah yang ada di DEPDIKNAS sana, dengan anggaran yang demikian banyak upayakanlah kebijakan itu bisa berjalan sesuai dengan kehidupan masyarakat lokal, jangan menerapkan sistem pendidikan yang diadopsi dari negara-negara maju yang sudah menjadi rongsokan, jangan lantaran kita pernah bersekolah di luar sana, menyebabkan kita lupa akan budaya dan nilai-nilai kehidupan bangsa kita. Inilah kita yang sebenarnya, INDONESIA... INDONESIA....

Tidak ada komentar: