Kamis, 08 April 2010

Tinjauan Kritis Terhadap Pendidikan Di Indonesia (Perspektif Postmodern)

Proses panjang perjalanan pendidikan di setiap bangsa dan negara, menjadi perlu dipertanyakan arah dan tujuannya, akan menjadi seperti apa manusia yang lahir dari institusi-institusi pendidikan yang ada sekarang ini dalam kehidupan yang akan datang. Tidak mungkin, kita mengharapkan manusia-manusia yang bisa tetap survive (dalam artian manusia yang sebenarnya) tanpa menyadari dan mampu memprediksikan kejadian yang akan datang dari kejadian-kejadian hari ini. Kelemahan dalam memprediksi yang berakibat pada ketidakmampuan dalam mengambil keputusan untuk mengantisipasi setiap kemungkinan yang terjadi berdampak kepada kondisi kesemestaan masyarakat manusia, di mana kemiskinan, perselisihan, kesenjangan sosial, dan penindasan/eksploitasi menjadi ciri mutlak yang tidak dapat dihindarkan sebagai akibat kegagalan modernisme yang diagungkan-agungkan selama ini oleh para rasionalis dan juga positivis.

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mengharapkan kejadian sebagaimana di atas, manusia dengan segala pengetahuan dan kelebihan yang dimilikinya akan selalu berusaha untuk dapat hidup bersama dengan cara yang lebih baik dan tentunya berbeda dari sebelumnya. Dari sinilah kemudian masyarakat manusia menyerahkan persoalan pemanusiaan manusia (humanisasi) kepada sebuah institusi yang diyakininya mampu melakukan hal itu yaitu “Sekolah”, dengan harapan agar generasi berikutnya mampu hidup sebagaimana layaknya manusia atau lebih manusiawi dari manusia-manusia yang ada sekarang ini.
Perubahan zaman yang demikian drastis dengan produk pendidikan (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang begitu canggih, tentunya mensyaratkan sebuah keharusan dalam perilaku kependidikan yang berkualitas dari segi kuantitas dan kualitas melampaui kenyataan yang telah ada atau diadakan. Masyarakat baru ini harus dipikirkan menurut cara baru dan berbeda (Jean Baudrillard, Jean Francois Lyotard dan Fredric Jameson dalam Ritzer dan Goodman, 2005:104) yaitu masyarakat manusia sebagaimana adanya yaitu manusia yang menyadari bahwa hidup adalah kemanusiaan dalam sebuah komunitas yang bernama manusia dan tidak berdiri sendiri, berbeda dengan pandangan modernisme yang merupakan upaya manusia menjadi: (i) subjek yang berkuasa dan otonom, dan (ii) subjek yang berkebasan mutlak dan individual; (b) modernisme sekaligus merupakan upaya penggantian Standar Kebenaran, Logos (Tuhan) dengan rasio, rasionalisme (sains), sebagai standar kebenaran (logos), dan; (c) modernisme merupakan upaya mengobjektitaskan (menjadikan sebagai objek) dan sekaligus merasionalitaskan dunia (menjadikan dunia sebagai “dunia akal”).
Hal terakhir di atas meliputi: (i) melalui rasionalisme sebagai logos atau standar kebenaran tertinggi maka dunia semesta modernisme hanya merupakan suatu rasionalitas, dunia rasionalisasi, dunia konseptual, atau dunia asumsi; (ii) melalui rasio yang menjadi subjek, dalam hal ini pusat atas segalanya, maka modernisme sesungguhnya merupakan objektivasi rasio atas segalanya; (iii) dunia modernisme dengan demikian merupakan realitas tunggal (realitas rasio, realitas yang diciptakan hanya berdasarkan rasio), dan standar kebenaran modernisme dengan demikian juga tunggal (rasio, rasional-empiris, tepatnya sains, sebagai logos, sebagai kebenaran tunggal); (iv) dilandasi kekuasaan yang melengkapi subjek sekaligus melalui orientasi keberadaan subjek yang mesti menggunakan kekuasaan untuk menguasai dan menaklukkan dunia, modernisme dengan demikian merupakan suatu konsep kekuasaan; (v) dengan demikian pula, dalam arti yang lebih luas, modernisme merupakan suatu upaya untuk tujuan penguasaan dunia; (vi) dilandasi relasi “subjek-objek”, maka modernisme sesungguhnya merupakan konsep pertentangan dan sekaligus pemusnahan; (vii) oleh karena hanya rasio menjadi logos, menjadi standar kebenaran, yang merupakan ciptaan manusia—bukan ciptaanNya—maka sesungguhnya modernisme merupakan konsep bebas nilai, dan; (viii) terhadap manusia khususnya, modernisme sesungguhnya merupakan proses destruksi di samping dehumanisasi (Syafril,2008:3-4)
Oleh karena filsafat modern telah merasuki kehidupan masyarakat manusia dengan peradaban yang sedang dipaksakan, dapat ditarik benang merah atas kekacauan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dewasa ini, yaitu bahwa pendidikan kita sebenarnya sedang mengarah kepada penghancuran dan dehumanisasi, di mana penyeragaman atas pengetahuan yang dimiliki manusia (peserta didik) yang dikenal sebagai intelektualitas perlu dilestarikan dan dimuat dalam buku-buku pedoman pembelajaran mengenai suatu kebenaran tunggal, ketika saatnya hasil penyeragaman ini dituntut melalui tagihan-tagihan berupa hafalan mengenai teks yang ada pada buku pedoman tadi, kegagalan dalam mengingat/menghafal pelajaran menjadi suatu kemutlakan untuk menghakimi sukses atau gagalnya peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran. Hal ini berlangsung secara simultan dan terus menerus dalam kehidupan persekolahan yang sengaja dipatenkan sebagai sebuah tujuan hidup yang harus dijalani oleh manusia pebelajar.
Dampak yang paling nyata terlihat ketika pebelajar telah menyelesaikan studinya dibangku sekolah, mereka tidak mampu menghadapi kehidupan sosialnya ditengah masyarakat, disebabkan perubahan sosial masyarakat mengalami perubahan yang amat cepat, tetapi pendidikan tidak mengalami perubahan yang berarti, tetap konvensional dan jumud (statis) (Zamroni, 2002:34). Materi-materi yang diajarkan di sekolah tidak bisa diterapkan dalam kehidupan pebelajar karena isi kandungan materi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Fenomena ini kemudian melahirkan pemikiran kepada postmodernisme sebagai bentuk ketidakpercayaan atau kegagalan modernisme dalam pembangunan manusia yang bersifat majemuk (plural). Dari pembongkaran (dekonstruksi), pengungkapan ketidakbenaran-ketidakbenaran atau kepalsuan, dan penolakan terhadap modernisme, postmodernisme sekaligus memunculkan pemikiran-pemikirannya yang secara filosofis dapat ditegaskan sebagai sikap yang “berusaha mengembalikan segala sesuatu sebagaimana adanya, sebagaimana keadaannya”—yakni dalam arti yang bertentangan dengan modernisme yang telah memberadakan segala sesuatu menurut “kepentingannya”, “kebenarannya” sendiri, paradigmanya yang monistik, satu-satunya cara yakni caranya sendiri, hanya rasio (akal).
Oleh karena tidak adanya ketunggalan, sebagaimana ontologisme modernisme—yang sesungguhnya hanya kepalsuan dan ketidakbenaran modernisme, yakni sebagai (a) “ada” dalam kuantitasnya yang tunggal, satu, hanya satu, tidak ada yang lain, monoitas, tunggal, (b) berada karena dan atas ketunggalannya, keberadaan tunggalnya yang otonom, (c) berada untuk, demi, dan dengan cara “ada”-nya yang tunggal, individual, (d) berada sebagai dan sekaligus untuk kelangsungan keberadaannya yang tunggal, kelangsungan ketunggalan keberadaannya, subjek, dan (e) berada untuk ketunggalan, guna ditunggalkan, universal—akan tetapi sebaliknya yakni bahwa yang ada sesungguhnya adalah “keanekaragaman”, maka postmodernisme muncul dengan konsep paradigmatik utamanya yang bertentangan sekaligus merupakan penolakan monoisme-modernisme, yaitu pluralisme (pluralistik).
Sebagai landasan ontologis, hal itu sebenarnya lebih menunjukkan bahwa postmodernisme sesungguhnya tidak memiliki ontologisme, landasan ontologis, sebagaimana modernisme, karena sama sekali memang tidak mendefinisikan, menetapkan, atau memastikan jawaban “onto”, tentang apa, esensi “apa” universal sebagaimana modernisme. Sebagaimana yang ditegaskan Derrida (Grenz, 2001: 14-15, dalam Syafri, 2008:6) bahwa postmodernisme memang tidak memiliki tujuan pencarian “hakikat tentang apa”, bahkan sebaliknya berusaha melenyapkan ontologisme tersebut. Terlepas dari maknanya yang esensial, hakiki, yang memang dihindarkan postmodernisme, yang dapat ditegaskan dalam hal ini barangkali adalah bahwa konsep tentang apa yang dimiliki postmodernisme adalah “apa yang beragam”, “apa yang beranekaragam”, atau “apa yang majemuk”—oleh karena itu tidak dapat direduksi, digeneralisasi, disebabkan keberagaman tersebut juga berarti keberbedaan, yang memang tidak dapat ditunggalkan, diuniversalkan.
Didasarkan konsep “keanekaragaman”, “beranekaragam”, atau “majemuk” itu pula maka postmodernisme tidak memiliki landasan epistema paradigmatik yang juga tunggal, satu-satunya, sebagaimana modernisme dengan satu-satunya epistema yakni rasionalisme. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan oleh Rorty (Grenz, 2001: 249, dalam Syafril, 2008:6) yang menolak epistemologi sebagaimana epistemologis modernisme. Sebaliknya, sebagai epistema, postmodernisme juga berada dalam cara pandang yang beragam, dan sekaligus pula dengan hasil pandang yang juga beragam, tidak bersifat mutlak (pasti), sebagai satu-satunya hasil yang pasti, sebagaimana epistema modernisme dengan kepastian (absolutisme) cara pandangnya melalui metodologi ilmiah kuantitatif sebagai satu-satunya epistemologi. Sebagai epistema, oleh karena itu, metodologi yang dimiliki adalah penafsiran—sebaliknya bukan kepastian, atau ketepatan ilmiah modernisme (saintisme) melalui instrumen-instrumen kuantitatifnya, pengukur kepastiannya. Demikian pula pada sisi landasan paradigmatik aksiologis, postmodernisme juga bukan untuk mencapai nilai manfaat ketunggalan, sebaliknya dalam orientasi keanekaragaman.
Melalui landasan-landasan filosofis paradigmatik tersebut terlihat bahwa postmodernisme memiliki paradigma yang bertentangan sekaligus merupakan penolakan monisme-modernisme: postmodernisme merupakan sistem pemikiran yang berparadigma pluralisme (pluralistik).
Dari uraian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan kepada terjadinya perubahan paradigmatik dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Yaitu dari paradigma monisme menuju kepada paradigma pluralisme/multikulturalisme. Pendidikan dengan paradigma postmodern atau disebut sebagai paradigma organik oleh Zamroni, memiliki karakteristik utama yaitu memandang sekolah sebagai bagian dari pendidikan, di mana dalam kehidupan, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. (Silber, Shanker, Stelse, 1990 dalam Zamroni, 2002: 39). Sekolah lebih menitikberatkan pada leraning, bukan pada teaching. Demikian juga organisasi kurikulum tidak kaku berdasarkan pokok bahasan, melainkan bersifat relatif dengan menyandarkan pada perkembangan apa yang ingin dipelajari siswa dan berusaha untuk memuaskan keinginan ini. Selanjutnya, mengenai tujuan penyelenggaraan sekolah adalah : (a) memfasilitasi peserta didik agar dapat mempelajari apa yang ingin dipelajari, (b) memungkinkan peserta didik belajar lebih efisien, dan (c) memotivasi peserta didik untuk selalu ingin belajar. Paradigma pembelajaran organik (postmodern-pen) memiliki orientasi learning dengan prinsip: (a) learning to know, (b) learning to do, (c) learning to be, dan (d) learning to life together.
Zamroni lebih lanjut mengatakan bahwa paradigma pendidikan organik tersebut akan terjadi dalam praktek pendidikan apabila ditopang dengan kebijakan: (1) mengembangkan masyarakat pembelajaran, (2) mengembangkan Broad Based Education, (3) Menimbulkan napas kekeluargaan di sekolah, (4) Mengembangkan kurikulum yang fleksibel, dan (5) Meredefinisi mutu hasil belajar. (2002:40-43)
Apa yang dikatakan oleh Zamroni di atas, lebih cenderung masih mengikuti pemikiran modernisme ketimbang postmodernisme yang berada dalam cara pandang yang beragam, dan sekaligus pula dengan hasil pandang yang juga beragam, tidak bersifat mutlak (pasti), sebagai satu-satunya hasil yang pasti, sebagaimana epistema modernisme dengan kepastian (absolutisme) cara pandangnya melalui metodologi ilmiah kuantitatif sebagai satu-satunya epistemologi. Sebagai epistema, oleh karena itu, metodologi yang dimiliki adalah penafsiran—sebaliknya bukan kepastian, atau ketepatan ilmiah modernisme (saintisme) melalui instrumen-instrumen kuantitatifnya, pengukur kepastiannya.

Penutup
Krisis peradaban (dehumanisasi) yang terjadi di Indonesia adalah bukti kegagalan modernisme dalam teori dan praktiknya. Perilaku meniru (imitasi) yang berlebihan di tengah masyarakat sekarang ini menunjukkan bahwa pendidikan belum mampu menanamkan jati diri yang sebenarnya bagi masyarakat (bangsa). Munculnya sekolah-sekolah non formal (les privat dan sejenisnya) adalah bentuk ketidakpercayaan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap institusi pendidikan (sekolah), hal ini juga mencirikan bahwa pendidikan lebih cenderung menjadi barang komersil dan membentuk masyarakat konsmutif. Dengan demikian, paradigma postmodern atau post postmodern perlu dimunculkan sebagai sebuah alternatif. Persoalan cara (epsitemologi) dan nilai kegunaannya (aksiologi) diserahkan kepada masyarakat lokal (disesuaikan dengan kondisi-kondisi masyarakat/budaya yang hidup dalam komunitas tersebut). Akhirnya, tidak ada satu pilihan atau jawaban yang pasti/benar dari berbagai macam persoalan/kejadian yang muncul, semuanya berjalan seperti air mengalair “apa adanya”. Hal ini juga berarti penolakan keras terhadap bentuk-bentuk sentralisasi pendidikan dalam segala bentuk. Diharapkan dengan paradigma postmodern atau post postmodern ini akan mampu memberikan jawab atas persoalan-persoalan pendidikan (bangsa) di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: