Senin, 16 Januari 2023

Tips Menulis Buku Ajar (2)

Menulis buku ajar sebagaimana postingan kami minggu lalu, tentu berbeda dengan menulis cerpen, novel dan karya fiksi sebangsanya. Beberapa tips yang bisa dilakukan untuk memulai menulis.

A. Observasi dan Inventarisir Kebutuhan Pembaca (Siswa/Mahasiswa)

Guru atau dosen, tentunya lebih paham apa yang dibutuhkan oleh siswa atau mahasiswa. Oleh karena itu, menulis bukan hanya sekadar memenuhi persyaratan kredit point atau untuk penghasilan tambahan semata. Buku yang kita tulis menunjukkan seberapa professional atau ahlinya kita pada bidang yang kita ajarkan.
Jadi, apa yang dibutuhkan oleh siswa atau mahasiswa? Jawabannya pasti mereka butuh informasi, jawaban serta solusi dari keingintahuan atas permasalahan yang mereka hadapi (Manning, n.d.). Faktanya, selama ini siswa dan mahasiswa lebih memilih untuk mencari informasi atau sumber belajar via youtube, tiktok atau media sosial lainnya. Kenapa? Ada beberapa kemungkinan yang bisa diurai sebagai jawaban atas pertanyaaan kenapa, yaitu: 1) materi yang diajarkan tidak relevan dengan kebutuhan atau menjawab rasa ingin tahu siswa/mahasiswa, 2) cara penyampaian guru/dosen sama sekali tidak menarik minat siswa/mahasiswa untuk belajar, 3) bahasa yang digunakan guru/dosen terlalu tinggi, sementara siswa/mahasiswa menginginkan penyederhanaan dan kepraktisan, 4) tayangan Youtube atau media sosial lainnya lebih informative dan kominukatif serta menyediakan hal-hal baru (up to date).
Selama ini, guru atau dosen kalau mau menulis buku ajar atau menulis apa saja, bawaannya seriuuuus banget, tegang dengan aturan penulisan yang membelenggu. Apalagi guru matematika, yang kesehariannya bergelut dengan angka, jangankan menulis, mau masuk kelas aja, bawaannya menakutkan. Udah gitu, siswanya gak paham dengan apa yang disampaikan, mau bertanya takut, mau menjawab pertanyaan juga takut. Akhirnya, siswa pada diam mendengarkan, tangan dilipat, pandangan lurus ke depan dengan kening yang berkerut seakan memikirkan apa yang disampaikan guru. Padahal, dalam hati kecil mereka, “lonceng/bel istirahat, kok lama banget?”
Cerita di atas, tidaklah benar semuanya (bisa jadi pengalaman pribadi penulis semata), namanya juga cerita. Postingan kali ini mencoba mengurai keruetan akibat keseriusan yang kurang jelas, yang mengakibatkan kita enggan menulis dan membaca. “Menjadi diri sendiri adalah lebih baik daripada menjadi diri yang lain”. Bukankah demikian nasihat bijak yang seringkali muncul di sela-sela proses belajar mengajar di kelas? Bukan berarti kami menganjurkan, agar guru/dosen mengabaikan aturan penulisan, tapi yang kami maksudkan di sini adalah menulis jangan sampai lupa bahagia.
Menulis bahan ajar, seperti dikat, modul, buku ajar, buku referensi, monograf ataupun menulis laporan penelitian tindakan kelas, masih dipandang sebagai beban di luar tugas-tugas rutin administrative pembelajaran. Padahal, jika direnungkan sejenak, semua aktifitas guru/dosen, baik di rumah maupun di sekolah/kampus sebenarnya satu kesatuan aktifitas. Artinya, menulis buku ajar, melakukan penelitian dan pembelajaran diselenggarakan dalam satu waktu yang bersamaan. Karena sebelum mengajar, guru/dosen pasti menyusun rencana pembelajaran yang berisi semua aktifitas dan materi serta penilaian untuk pertemuan tersebut.
Sebagai contoh, misalnya saya mengampu mata kuliah “Statistik Penelitian” dengan pertemuan sebanyak 14 kali pertemuan. Materi yang ditentukan dalam kurikulum pembelajaran ada 6 tema, yaitu 1) statistic desktiptif, 2) populasi dan sampel, 3) uji asumsi, 4) Pengujian hipotesis, 5) uji komparatif, 6) korelasi dan regresi. Jauh hari sebelum mulai masuk perkuliahan, saya sudah siapkan buku ajar untuk seluruh tema yang akan saya ajarkan. Sayang sekali, buku tersebut baru bisa selesai bersamaan dengan lulusnya mahasiswa yang ikut perkuliahan saya. Hal itu terjadi karena antara menulis buku dan proses belajar mengajar masih terpisah (kegiatan yang berbeda).
Waktu itu penerbit menyarankan kepada saya, agar buku yang saya tulis jangan terlalu tebal, tipis-tipis saja, biar pembaca tidak jenuh dan penulisan buku bisa cepat. Sekian kali bertemu, sekian kali juga nasihat itu saya dengarkan. Akhirnya, saya menemukan cara yang lebih efektif dan efisien, yaitu menulis buku seringkas mungkin, antara 40 sampai 100 halaman, isinya dibuat sesuai tema/materi pembelajaran, dengan 6 (enam) tema sebagaimana contoh di atas, dapat dibuat buku sebanyak 6 judul buku berisi contoh-contoh yang up to date. Beberapa alasan dan kelebihan trik ini menurut pengalaman (Jurchenko, 2019), yaitu.

1. Buku yang lebih ringkas memungkinkan penulis menerbitkan bukunya dengan cepat. Keuntungan cepat’ ini

menghasilkan momentum, dan momentum adalah sekutu yang kuat.

2.    Buku yang ringkas (tipis) juga memberikan keuntungan kepada pembaca, yaitu dengan mengubah karya agung Anda menjadi serangkaian gigitan yang mudah dicerna.

3.    Serangkaian buku yang lebih pendek memungkinkan penulis mendapatkan dan memanfaatkan umpan balik dari pembaca serta memberi audiens lebih banyak dari apa yang mereka inginkan.

4.    Dari segi penjualan, buku yang tipis (di bawah 100 halaman) lebih laku terjual, karena minim biaya (murah) dan minim resiko, meskipun hal ini tidak selalu benar, karena karakteristik pembaca sangat beragam. 

Buku tematik memiliki banyak keunggulan, di antaranya minim biaya dan risiko serta informasi terbaru menjadikan buku yang kita tulis lebih fresh. Begitulah pengalaman bagaimana memulai menulis buku sebagai satu kesatuan aktifitas dengan pembelajaran. Pada akhir semester, buku tentang mata kuliah  “Statistik Penelitian” itu pun jadi dengan menggabungkan semua buku tematik yang sudah dibuat pada setiap pertemuan, tentunya dengan sedikit perbaikan pada contoh-contoh atau hal-hal yang sifatnya substansial. Intinya, pada awal menulis adalah momentum kecepatan.

Fokus pada satu tema, bagian yang kita tinggalkan akan menjadi buku berikutnya (Jurchenko, 2019). Pembaca (siswa/mahasiswa) yang sibuk, tidak punya waktu untuk mempelajari segala sesuatu tentang mata pelajaran yang dia pelajari. Karena itu, mereka mencari buku yang menekankan area di mana mereka ingin berkembang..  

B. Segmentasi Pembaca

Setelah mempelajari kebutuhan pembaca dan menginventarisir segala sesuatunya yang berkenaan dengan kemampuan dan daya dukung penulis sendiri. Penulis perlu melakukan segmentasi atau target pembaca dari buku yang mau ditulis, misalnya: Guru, Dosen, Pemuda, Pelajar, Petani, Buruh, Mahasiswa dan lain sebagainya. Target dan sasaran pembaca sangat membantu kita untuk memilih kata (diksi), struktur kalimat dan tentunya gaya bahasa yang digunakan.
Buku ajar memiliki segmen yang sudah jelas yaitu siswa atau mahasiswa yang mengikuti pembelajaran, begitu juga dengan buku referensi atau monograf. Lain halnya dengan menulis Novel, Cerpen dan saudara-saudaranya, cerita dan formatnya berbeda. Penulis harus mampu memetakan segmen calon pembaca buku yang ditulisnya.
Pengalaman mengajar dan menulis bahan ajar, menjadi peta yang jelas (kalaupun kabur, ya kabur-kabur dikit lah), bagaimana menulis buku ajar atau referensi yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa atau khalayak. Ternyata, menulis buku ajar atau buku referensi (non fiksi) itu jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan menulis cerpen, puisi, novel atau scenario film. Karena buku ajar atau referensi adalah tugas rutin guru sebelum, selama dan setelah mengajar. Mulai dari menyusun kurikulum, silabi, rencana pembelajaran, menyusun materi ajar, melakukan penilaian dan seterusnya.    
Sebaliknya, bagi kawan-kawan yang suka ‘ngecuprus’ (bercerita), mungkin memiliki pandangan sebaliknya. Mereka kalau sudah ketemu ide dan mood-nya lagi on, bisa nulis novel sampai berjilid-jilid dan dibaca pun enak, ngalir seperti air. Bahkan kondisi yang sangat tidak mood atau gak mengenakkan sama sekali, bisa menjadi kisah yang indah dibaca.

C. Memunculkan Ide/Gagasan
Memunculkan ide atau gagasan menjadi bagian terberat dari tahapan menulis, bahkan bagi mereka yang ahli menulis sekalipun. Ide mengikuti cara pandang, kebiasaan, wawasan dan pengetahuan kita atau bahkan pengalaman (baik/buruk) yang kita lalui. Ide/gagasan sangat erat kaitannya dengan berpikir kritis dan kreatif, itulah sebabnya kenapa ide tidak pernah datang dengan sendirinya atau seperti slogan film horror “datang tak diundang, pulang tak diantar”.

Ide memberi arah agar tulisan kita lancar dan enak dibaca, kekurangan ide bisa menjadikan kita sebagai penulis seringkali mengalami stuck (macet), baik di saat baru memulai, di tengah proses penulisan, dan pada tahap akhir (finishing). Di awal memulai tulisan, stuck  seringkali terjadi karena perasaan takut, cemas dan isu-isu negative tentang kemampuan diri alias tidak percaya diri. Kedua, pada saat menulis (pertengahan proses), kemacetan (stuck) terjadi pada tahap pertengahan, disebabkan karena kurangnya penelitian/pengkajian, dan juga karena kurangnya pengetahuan (jarang membaca karya orang lain). Ketiga, pada tahapan finishing, penulis mengalami stuck karena faktor kelelahan, dan membayangkan tulisan kita tidak diterima, dan sebagainya (Joanna, 2015).

Sistem pendidikan yang muncul di era digital sekarang ini, tidak ubahnya seperti persaingan bisnis yang hyper-competition. Sejumlah besar lembaga pendidikan (negeri ataupun swasta), semuanya bersaing untuk mendapatkan peserta didik. Begitu banyak pilihan dan layanan yang ditawarkan, program layanan baru muncul setiap hari dan siklus hidup program layanan semakin pendek. Sementara pada saat yang sama sebagian besar informasi disediakan secara gratis melalui internet.

Perkembangan terakhir yang membuat kita tercengang dan merasa semakin tertinggal adalah program pendidikan yang dirilis oleh Google (https://www.coursera.org/), pendidikan yang sangat murah dengan waktu yang sangat fleksibel (sesuai pebelajar), belajar hanya 6 bulan saja dan siswa atau mahasiswa mendapatkan ijazah. Boooooom…… Setelah lulus, Google menjamin alumninya langsung mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang juga menjanjikan. Akan bagaimana nasib sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia? Simpan jawaban Anda, hingga Anda mulai menuliskannya menjadi rangkaian informasi yang jauh lebih menarik dan tentunya lebih menjanjikan di banding Google.

D. Mengumpulkan Bahan Bacaan (Literatur) Pendukung

Tahapan yang tidak kalah pentingnya dari langkah-langkah sebelumnya adalah mengumpulkan bahan bacaan (literature) pendukung, artikel hasil penelitian, informasi terbaru berkenaan dengan tema yang akan ditulis, dan sebagainya. Zaman yang serba canggih sekarang ini, membuat kita tidak terlalu menghabiskan energy untuk sekadar mencari sumber informasi, hampir semuanya tersedia di internet. Situs-situs penyedia layanan buku gratis dan berbayar berlimpah, tinggal download, dan tentunya yang lebih penting dari sekadar mendownload buku-buku tersebut yaitu membaca. Saya biasa mendownload buku di sistus http://libgen.rs/ 



Sayangnya, situs ini menyediakan jumlah buku berbahasa Indonesia yang masih terbatas, begitu juga dengan jumlah buku yang bisa didownload (5 buku/hari untuk pendatang/tamu, 10 buku/hari bagi member, selebihnya berbayar).

E. Memulai Menulis 
Agar isi tulisan lebih runut dan sistematis, sebelum mulai menulis sebaiknya buat dulu Kerangka Tulisan.Masalah format penulisan, Anda bisa baca panduan penulisan buku ajar sesuai dengan tingkatan (SD-SMA atau Perguruan Tinggi).    



Tidak ada komentar: