TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Sumantri dan Permana (1999) menyatakan mengajar adalah kegiatan penyampaian pesan berupa pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap-sikap tertentu dari guru kepada peserta didik. Raka Joni (1986: 3) merumuskan pengertian mengajar sebagai pencipta suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan dalam proses belajar akan saling mempengaruhi antar komponen seperti tujuan instruksional yang ingin dicapai, guru dan peserta didik yang memainkan peranan senada dalam hubungan sosial tertentu, materi yang diajarkan, bentuk kegiatan yang dilaksanakan serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia. Sementara itu, Davis (dalam Sumantri dan Permana, 1999) mengungkapkan bahwa pengertian mengajar sebagai suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan mencakup pengambilan keputusan. Jadi mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang melibatkan berbagai komponen dalam menyampaikan pesan tertentu dari guru kepada peserta didik. Dalam menyampaikan pesan tertentu kepada peserta didik, seorang guru dapat mengembangkan belajar anak dengan menyediakan lingkungan belajar untuk memfasilitasi temuan si anak.
Menurut filsafat konstruktivisme, siswa memahami dunianya dengan cara menghubungkan antara pengetahuan dan pengalamannya dengan apa yang sedang dipelajarinya. Mereka membangun makna ketika guru memberikan permasalahan yang relevan, mendorong inkuiri, menyusun kegiatan pembelajaran dari konsep-konsep utama, menghargai sudut pandang siswa, dan menilai hasil belajar siswa, (McLaughin dan Vogt, dalam Dantes, 2004). Selanjutnya, Von Glaserfield (1989) menyatakan bahwa konstruksi makna adalah proses adaptasi dimana tidak melibatkan penemuan dari realitas ontologi. Oleh karena itu, kerangka belajar kontruktivisme adalah suatu kegiatan aktif yang berlangsung secara kontinyu dimana pebelajar menggunakan informasi yang berasal dari lingkungannya untuk mengkonstruksi interpretasi pribadinya dan makna-makna berdasarkan pengetahuan awal dan pengalamannya, Driver & Bell (dalam Kariasa dan Suastra, 2005).
Salah satu sasaran pembelajaran adalah membangun gagasan saintifik setelah peserta didik berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan mutakhir menganggap semua peserta didik mulai dari usia TK sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan atau pengetahuan sendiri tentang lingkungan dan peristiwa atau gejala alam di sekitarnya, meskipun gagasan atau pengetahuan ini naif atau kadang-kadang salah. Mereka mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif ini secara kokoh sebagai kebenaran. Hal ini terkait dengan pengetahuan awal yang sudah terbangun dalam wujud “schemata” (struktur kognitif) dalam benak siswa (Depdiknas, 2002).
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui siswa”. Guru tidak dapat mendoktrinasi gagasan saintifik supaya peserta didik mau mengganti dan memodifikasi gagasan yang non saintifik menjadi gagasan yang saintifik. Dengan demikian , arsitek peubah gagasan peserta didik adalah peserta didik itu sendiri. Sejalan dengan itu (Nurahdi, 2003) dalam pandangan kontruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan (1) membuat informasi bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi kesempatan kepada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, (3) menyadarkan agar siswa menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Selanjutnya Zahorik (dalam Nurahdi, 2003) menekankan bahwa dalam praktek pembelajaran kontruktivisme ada 5 unsur pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, (2) pemerolehan pengetahuan dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, baru kemudian memperhatikan detailnya, (3) pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, (4) mempraktekkan pengalaman tersebut, dan (5) melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Sementara itu, kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi kontruktivisme antara lain; (1) diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan, (2) pengujian, dan penelitian sederhana, (3) demonstrasi, dan peragaan prosedur ilmiah, (4) kegiatan praktis lain yang memberi peluang, peserta didik untuk mempertanyakan, memodifikasi dan mempertajam gagasannya (Depdiknas, 2002).
Menurut Suparno (1997: 66), agar peran dan tugas guru dapat berjalan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh guru, antara lain:
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan
Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat
Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa
Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar
Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Karena murid harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong atau tabula rasa. Bahkan anak SD kelas 1 pun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku dalam berhadapan dengan lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa “pengetahuan awal”. Pengetahuan yang mereka punya adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya.
Guru kontruktivisme tidak pernah akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim bahwa” ini satu-satunya yang benar”. Di dalam sains mereka tidak dapat berkata lebih daripada “ ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, ini adalah jalan terefektif untuk soal ini sekarang” Von Glasersfeld (dalam Suparno, 1997).
Ciri mengajar konstruktivisme adalah sebagai berikut: Driver dan oldham dalam Matthew yang dipaparkan oleh Suparno (1997)
1) Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik.Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2) Elicitasi. Murid dibantu untuk mengungkapakan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster.
3) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal
a) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan denga ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
b) Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.
c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percoban atau persoalan yang baru.
4) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.
5) Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
Terkait dengan hakikat belajar mengajar, pada dasarnya semua peserta didik memiliki gagasan atau pengetahuan awal yang sudah terbangun dalam wujud skemata. Dari pengetahuan awal dan pengalaman yang ada peserta didik menggunakan informasi yang berasal dari lingkungannya dalam rangka mengkonstruksi interpretasi pribadinya serta makna-makna. Makna ini dibangun ketika guru memberikan permasalahan yang relevan dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya, mendorong inkuiri untuk memberi kesempatan kepada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri. Untuk membangun makna tersebut, proses belajar mengajar berpusat pada siswa.
Bahan Bacaan
Dahar, Ratna Wilis. 1998. Teori-teori Belajar. Bandung: Erlangga.
Dantes, Nyoman. 2001a. ”Teori-Teori Belajar, Teori-Teori Instruksional dan Model-Model Pembelajaran”. Kumpulan Makalah STKIP Singaraja.
-------. 2001b. ”Komparasi Kesanggupan Berpikir Formal Antara Siswa SMA di Kota dan Siswa di Desa Pada Para Siswa Kelas 1 SMA di kabupaten Buleleng”. Dalam Ontologi. 2001.
De Bono, E. 1990. Mengajar Berpikir. Alih Bahasa: Soemardjo. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Sains. Jakarta: Puskur-Balitbang Depdiknas.
-------. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur-Balitbang Depdiknas.
-------. 2002. Kurikulum Hasil Belajar: Kompetensi Dasar Fisika SLTP. Jakarta: Puskur-Balitbang Depdiknas.
-------. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar: Kompetensi Dasar Mata pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Puskur-Balitbang Depdiknas.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Azwan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Joyce & Weil. 1986. Models of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Kompas. 2003. ”Pendidikan Belum Menyenangkan”. Edisi Jum’at 2008 Februari 2003, halaman 9.
Kuslan, L. & A.H. Stone. 1969. Teching Children Science: an Inquiry Approachs. California: Wadsworth Publishing Company, Inc.
Mulyana. 2005. “Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri Berbasis Keterampilan Hidup. “http://www. pages your favorite.com/ppsupi/abstrak / kbk.2005.html”
Najimudin. 2004. “Pendekatan Inquiry dalam Pembelajaran P-IPS untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa. “www.ppsupi.org/abstraks.
Nurhadi, Senduk dan Agus Gerrald. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sumantri, Mulyani dam Johar Permana. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
Suparno, Paul. 1977. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Joni, T. Raka. 1986. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Ditjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Udin, S. 1997. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar