Bagian Satu
Matinya Seorang Pahlawan
“Sudahlah nak, jangan kau bantah lagi kata-kataku, tidak ada artinya kau berjuang untuk negara ini, toh juga negara ini tidak pernah memberikan apapun kepada kita kecuali hanya selalu meminta sesuatu yang kita miliki. Pernahkah negara memberimu makan, minum atau memberimu uang setiap hari? Sanggupkah negara ini menjaga kita dari bala bencana dan penyakit? Lalu, untuk apa kau mau terlibat dan berpikir tentangnya? Sudahlah… pendidikan yang kau peroleh hari ini tidak cukup untuk membangun sebuah negara yang kau dan orang lain harapkan, aku sudah tua dan tidak mau berdebat lagi soal negara, apalagi negara yang bebal sejarah, negara yang tidak tahu rasa terimakasih terhadap para pejuang kemerdekaan dan rakyat yang menjaganya sampai sebesar ini”.
Pinta Suroso kepada anaknya yang saat ini masih aktif kuliah di sebuah universitas ternama di Semarang. Sularso terdiam, tatapan matanya menerawang kosong jauh nun disana, dahinya mengkerut seolah dia masih memikirkan sesuatu yang sangat luar biasa, sedikitpun ia nampaknya tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh bapaknya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya membalas sorot mata yang tajam, seraya berkata.
“Pak kenapa bapak selalu menanyakan apa yang telah diberikan negara kepada kita, bukannya apa yang telah kita berikan kepada negara ini? Bukankah selama ini kita hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa? Lalu bagaimana bisa negara berbuat seperti apa yang bapak inginkan?”
Mendengar jawaban anaknya, wajah Suroso memerah dan tangannya mengepal, dengan gemetar ia menudingkan telunjukknya tepat di depan mata Sularo yang menurutnya begitu keras kepala dan susah diatur.
“He… Larso… seandainyapun kamu tidak mendengarkan dan tidak mau mengikuti saranku, untuk saat ini bagiku tidak masalah, itu semua karena kau belum mengerti dan belum lagi memahami apa yang kau pikirkan, idealisme kampus yang kau bawa-bawa itu tidak berguna sama sekali, karena yang berpikir tentang negara yang ideal itu hanyalah kau dan kawan-kawanmu yang tidak karuan itu, selebihnya sibuk mengejar nilai ujian dan pacaran, lalu mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang mapan. Persetan… apakah kemapanan itu mereka dapatkan dari merampok atau mencuri, mengambil hak-hak orang lain, menindas sesama bangsanya sendiri dan mengagung-agungkan negara yang jelas-jelas selalu menindas kita. Sementara kau sibuk berdemo, ditangkap dan digebuki oleh polisi lalu kau dikeluarkan dari kampus. Semuanya itu, yang rugi hanya kau, terutama aku yang setiap hari mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita berdua. Ibu dan saudara-saudaramu yang telah lama mati ditembaki Belanda tidak bisa membantu kita, kakiku yang dipenggal sebelah oleh si Jepang itu semakin membuat aku kewalahan mencari makan untuk besarkan kau, nah… sekarang di mana sesuatu yang kau sebut sebagai negara? Apakah negara memperhatikan kita sebagaimana kita memperhatikannya, apakah negara mau berkorban untuk kita sebagaimana kita berkorban untuknya? Tidak anakku…negara tidak seperti itu, negara hanya memperhatikan mereka-mereka yang memiliki kekuasaan dan harta yang banyak. Karena dengan kekuasaan dan uang yang banyak negara bisa dibeli, keamanan bisa dibeli, hukum juga begitu. Kekuasaan dan harta mampu melegalkan semuanya termasuk korupsi, kolusi dan sebangsanya. Itukah negara yang kau bela-bela untuk kau perjuangan di zaman sekarang ini? Tegas Suroso membalikkan tubuhnya dan segara membuka pintu jendela kamar, perlahan dihirupnya udara segar yang mengalir dari sawah belakang rumah, kelopak matanya mulai berkaca-kaca, serasa ada sesuatu yang membuat ia begitu kecewa, entah apa yang ia pikirkan, pandangan matanya semakin jauh dan jauh.. menerawang mengitari jagat dihadapannya. Ia tidak mau anaknya merasakan sakit hati seperti yang ia rasakan saat ini, perjuangan kemerdekaan yang telah merenggut ribuan bahkan jutaan jiwa ternyata membuat langgeng dan mempermulus jalannya ketidakadilan, korupsi, dan bentuk kejahatan lainnya.
Suroso adalah seorang veteran perang di jaman Belanda dan Jepang, ia memiliki lima orang anak, namun yang masih hidup hanyalah Larso yang paling bontot. Istri dan keempat anaknya mati ditembak oleh Belanda di saat mereka sedang berkumpul bersama ibunya di rumah. Kebetulan waktu itu, Larso sedang berada di rumah neneknya, sehingga ia tidak ikut dibantai.
“Pak… umur ku sekarang sudah duapuluh sembilan tahun, aku sudah bisa memikirkan apa yang terbaik untukku, memang pengalaman bapak lebih banyak dari pengalamanku, tapi zaman telah berubah pak, Belanda dan Jepang tidak menjajah kita lagi, kita sudah merdeka, trauma yang bapak alami bisa aku rasakan, tapi itu tidak bisa merubah semuanya menjadi lebih baik.”
”Lantas, dengan kau berteriak-teriak di jalanan itu kau katakan bisa merubah negara ini?”
”Aku sadar, negara ini memang bobrok, dimana hukum bisa dibeli, pendidikan dan kesehatan tidak terjamin. Aku juga tahu bahwa kebanyakan penguasa negeri ini banyak yang sakit mental, suka mencuri, menipu dan menjilat. Tapi, pak..”
”Tapi, apa?”
”Tapi...bukan berarti aku harus diam dan tidak berbuat apa-apa, aku yakin aku tidak sendiri, aku yakin sebenarnya banyak dari kalangan pemuda, dan mahasiswa dan juga para orang tua yang memiliki pemikiran seperti aku, suatu saat aku bisa menyaksikan bahwa negara ini berjaya di mata dunia, tidak ada lagi negara yang berani melecehkan dan menghina kita seperti sekarang ini”. Jawab Larso tidak mau kalah berusaha meyakinkan bapaknya bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah benar.
“Ha..ha… Larso…Larso… kapan itu bisa terjadi Larso? Kau terlalu banyak nonton sinetron dan film kartun. Bagaimana mungkin negara yang tidak mengenal pahlawan dan bebal sejarah ini bisa berubah seperti yang kau katakan? Paling adanya hanya perubahan dari yang murah menjadi mahal, dari baik menjadi buruk, tapi... ya itu juga perubahan. Lalu, macam mana pula negara yang lemah ini bisa berjaya kalau tidak ada keberanian untuk mengatakan tidak kepada tidaknya sendiri dan mengatakan ia kepada iya-nya sendiri? Sebentar... hmmm, mungkin kau sendiri tidak paham arti kata merdeka.” lanjut Suroso berusaha mengimbangi kata-kata anaknya.
”Cukup pak... aku paham kenapa bapak berpikir semacam itu tentang negara ini, itu semuanya karena bapak juga tidak ikhlas membesarkanku, aku baru sadar bahwa bapak yang aku agung-agungkan sebagai pahlawan ternyata sebenarnya bukanlah pahlawan, mana ada pahlawan mengharapkan balas jasa, mudah-mudahan hanya bapak yang berkorban dengan mengharapkan pamrih, aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau banyak orang seperti bapak di negara ini”.
Tandas Larso memotong perkataan bapaknya, perlahan ia bangun dari duduknya dan bergegas meninggalkan sang bapak yang bertambah gerah dan berurai air mata.
”Oh... negara, pendidikan apa yang telah kau berikan kepada anakku...belum cukupkah pengorbananku? Ataukah memang zaman yang telah berubah? Lantas kenapa di zaman modern ini masih banyak pengangguran dan kemiskinan? Sekolah apa yang telah mendidik anak-anak bangsa ini menjadi anak-anak yang tidak tahu sopan santun? Sekolah apa yang telah merubah manusia menjadi robot dengan aturan yang begitu kaku melebihi penjara? Oh... negara siapakah kau sebenarnya...kenapa waktu itu aku mau angkat senjata melawan si Belanda dan si Jepang itu, kalau hanya untuk memberi jalan para koruptor dan membuat senang para penjahat merusak generasi bangsa ini dengan barang-barang haram yang diperjualbelikan dengan leluasa? Hmmm.... andaikan aku masih punya power seperti tempo dulu, mungkin hukuman mati adalah yang paling baik bagi mereka” gumam Suroso sambil mengangguk-anggukkan kepala sendirian.
Panasnya terik matahari di siang itu, menambah rasa dahaga yang amat sangat. Membuat warga enggan untuk keluar rumah, lebih-lebih di saat bulan Ramadhan seperti ini, warga lebih banyak memilih untuk tinggal di rumah sambil menunggu waktu Ashar tiba lalu jalan-jalan menikmati keramaian sampai waktu adzan Magrib hampir tiba. Tapi, bagi Larso, kegiatan semacam itu tidak membawa manfaat yang banyak, dia lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dan membaca buku atau menulis ide-idenya. Sementara bapaknya lebih memilih untuk menyendiri dan merenung di makam pahlawan yang tidak jauh dari rumahnya. Disanalah Suroso selalu menghabiskan waktu menunggu suara adzan menggema dari masjid dan musholla.
Ditengah pemakaman yang begitu sepi, Suroso merasakan ada sesuatu yang aneh, hawanya terasa sejuk dan tanah disekelilingnya mengeluarkan aroma yang begitu harum persis aroma bunga Kamboja yang dicampur dengan kapur barus (kamper) dan minyak wangi. Tidak lama kemudian, pandangan Suroso mendadak kabur dan bertambah gelap, aliran darahnya terasa berhenti, tubuhnya terasa dingin seperti es.
”blak...”
Suroso tidak sadarkan diri. Ia tergeletak lemas di atas timbunan tanah pekuburan di antara bunga-bunga kamboja yang berjatuhan.
Tidak lama kemudian
”Suroso....Suroso.... sobatku....sudah enampuluh empat tahun lamanya kita tidak berjumpa, kulitmu terlihat semakin keriput, badanmu semakin kurus tinggal kulit pembalut tulang saja, apalagi yang kau tunggu untuk segera bergabung bersama kami di sini? Apalagi yang kau harapkan dari hidup ini? Kita tidak bisa menuntut banyak Roso, kecuali kata-kata palsu yang tertulis dalam buku-buku sekolah yang dijual teramat mahal, apalagi untuk sekadar dihormati dan dihargai jasa-jasamu, itu semua sudah berlalu Roso.”
Samar-samar terdengar suara dari sosok manusia berjubah putih duduk di depannya yang terbaring lemas.
”Tidak...Tidak... Aku belum siap mati, aku tidak mau mati sebelum aku melihat negara ini benar-benar merdeka, aku tidak mau mati selama masih banyak pengangguran dan kemiskinan, aku juga tidak mau mati sebelum ada jaminan kesehatan dan pendidikan”. Tandas Suroso berusaha mengenali siapa yang mengajaknya bicara.
”Suroso...aku ini Anggoro, kau jangan panik, siapa juga yang mau mengajak kau mati, mati nggak perlu diajak Roso. Begini sobat, aku menghampirimu karena aku lelah melihat kau menyakiti perasaanmu sendiri dengan trauma masa lalu, aku datang untuk membantumu. Biarkanlah anak-anak kita hidup di jamannya, kau tidak perlu terlalu banyak berpikir dan ambil pusing dengan semua ini. Aku tau bagaimana rasanya diterlantarkan oleh negara, tapi itu semua karena negara tidak mengerti apa yang kita inginkan, sesekali kami berkumpul dan memutuskan untuk beraudiensi dengan presiden, DPR dan semua menteri, untuk menyampaikan aspirasi seperti yang biasa dilakukan oleh para mahasiswa, namun seringkali keinginan itu gagal ditengah jalan, kami khawatir jangan-jangan kami ditangkap dan digebuki polisi seperti yang dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa itu.”
Sapa Anggoro dengan penuh rasa persahabatan. Ia semakin mendekat ke wajah Suroso agar Suroso bisa dengan mudah mengenalinya.
”Anggoro...oh... ya Anggoro, aku ingat siapa kau, bukankah kau Anggoro yang selalu kentut bila mendengar suara tembakan dan bom berjatuhan? Ya... aku mulai ingat sekarang. Lalu.. mana kawan-kawan yang lain? Apa mereka ikut serta denganmu?
Lanjut Suroso setelah mengenali siapa sosok yang ada didepannya. Dengan perasaan gembira ia bergegas mengambil posisi duduk, persis seperti orang yang sedang curhat di acara televisi.
”Hei Anggoro... terus terang, aku selalu merasa asing dan sendirian sekarang ini, aku tidak tahu mengapa, tapi seolah-olah tidak ada yang mau memahami apa yang ada dibenakku, bahkan anakku yang kini aktif kuliah di Semarang terkadang tidak mau peduli dengan pendapatku, padahal keinginanku hanya sedikit, tidak banyak seperti orang-orang. Aku hanya ingin diperhatikan, dimanja, dihormati, disegani dan dilayani layaknya seorang pahlawan, ya paling tidak seperti Ramboo di film Amerika. Aku juga ingin sistem pendidikan negara ini menjadikan anak-anak kita menjadi orang yang benar-benar cerdas dari segala sisi agar pengangguran dan kemiskinan tidak terlalu banyak, aku ingin ada jaminan dan layanan kesehatan yang sama bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu, aku ingin negara ini terbebas dari jerat hutang yang memaksa kita harus patuh kepada sesuatu yang tidak sesuai dengan budaya kita, aku ingin negara ini....”
”Cukup...cukup.... Roso, keinginanmu itu bukan sedikit namanya, tapi terlalu banyak, kalau bisa kau kurangi, agar keinginan orang lain mendapat jalan seiring dengan keinginanmu.” Potong Anggoro mendengar daftar keinginan yang disebutkan Suroso seperti menu masakan di hotel-hotel berbintang.
”Keinginanmu hampir sama dengan keinginan kami semua yang ada di sini, tapi entah kenapa setiap kali peringatan hari kemerdekaan kami hanya mendengar suara peluit yang diiringi riuh rendahnya gerakan kaki dari pasukan gerak jalan. Kami juga seakan bosan mendengar suara peluru yang ditembakkan, terus terang kami tidak butuh itu semua, toh juga malaikat disini tidak ada yang takut mendengar suara tembakan, kami hanya butuh untaian dzikir dan do’a agar kami bisa menikmati kematian ini dengan lebih baik. Seandainya kami bisa berteriak dan mereka bisa mendengarkan, kami akan minta supaya harga peluru yang ditembakkan itu dipakai untuk membeli buku pelajaran, susu dan obat-obatan.” Tambah Anggoro dengan penuh penyesalan.
”Wah....wah... ternyata... lamanya kau dikubur telah merubah kau menjadi orang yang cerdas dan brilian Anggoro... aku salut, pasti disini kau di-didik dengan sistem pendidikan yang luar biasa. Namun, keinginan kita itu nampaknya telah membuat kita tersiksa dan memendam kecewa yang amat sangat, terkadang aku merasa tidak ada artinya kita berjuang, kalau pun akhirnya negara ini hanya menjadi tempat para koruptor main kucing-kucingan, sementara kita dilupakan begitu saja, tidak ada satupun anak sekolahan sekarang ini yang mengenal siapa kau, aku dan yang lainnya, apalagi mereka sampai memahami tujuan perjuangan kita. Itulah sebabnya, aku sering marah kalau anakku ikut-ikutan berdemo dan berpikir tentang negara ini, sebab tindakan mereka sama sekali tidak ada artinya, kalau pun ada sifatnya hanya sementara, lalu keadaan berputar kembali kepada kondisi semula. Korban reformasi begitu banyak termasuk diantaranya orang hilang. Aku khawatir anakku mengalami hal yang sama” Timpal Suroso mengenang hari-hari yang dilalui bersama anaknya Sularso, titik air mata perlahan membasahi pipinya yang peot. Sementara Anggoro duduk termenung berusaha menjadi pendengar setia, lalu diambilnya potongan kain kapan dan diusapkan ke wajah Suroso yang menangis tersedu-sedu.
”So...sabar so...jangan diteruskan lagi, nasib kita memang sudah begini, untuk apa disesali, apa yang dilakukan anakmu itu sudah luar biasa, dia juga menginginkan negara ini menjadi lebih baik, ya... kita hanya bisa bersabar dan menunggu, berharap semoga suatu saat nanti negara ini menjadi lebih baik, seperti lagunya Iwan Fals.” Kata Anggoro berusaha menenangkan Suroso yang menangis seperti anak kecil yang berebut mainan.
”Sabar... jalani saja dan ambil hikmahnya, begitu kan? Lalu sampai kapan Anggoro? Sampai kapan semua masalah selalu datang menghantui kita? Atau mungkin aku saja yang terlalu banyak pikiran dan terlalu banyak nuntut. ” Balas Suroso sambil cemberut.
Mendengar curhat kawannya, Anggoro tersenyum simpul, dia maklum kalau Suroso sudah bangkotan (tua), jadi kelakukannya tidak jauh beda seperti anak kecil saja.
”So... kalau kau ingin terbebas dari semua masalah itu caranya gampang, kau tidak perlu repot-repot dan mumpung kau disini, aku ada pesan untuk kau sampaikan”.
”Apa itu Anggoro, pesan apa?” tanya Suroso tidak sabaran.
“Begini Roso, kami minta bantuan supaya kau menyampaikan maklumat ini kepada bapak presiden tembusannya kau sampaikan kepada DPR dan menteri-menteri, mudah-mudahan mereka mau menyadari dan membuka diri supaya negara ini bisa menjadi lebih baik. Maklumat ini jangan kau hilangkan karena arsipnya disimpan di dinding surga.” pinta Anggoro sambil membuka sebuah lembaran yang disimpan di balik jubah putihnya.
Suroso tercengang, dahinya mengkerut hebat, pikirannya dipenuhi rasa penasaran, lalu ia cepat-cepat merebut lembaran maklumat yang ada ditangan Anggoro, ia tidak sabar mau melihat apa isi maklumat itu. Tangannya gemetaran membuka pita emas yang melingkari kertas yang dipegangnya, matanya terbelalak, jantungnya berdebar kencang, darahnya mengalir deras ke sekujur tubuhnya.
”masya Alloh....Allohu akbar....Allohu akbar....”
Tiba-tiba ia terbangun dan menemukan dirinya terbaring di bawah pohon Kamboja. Sayup-sayup ia mendengar suara adzan menggema, melantunkan irama yang bersahutan. Suroso kemudian bergegas melangkah pulang dengan maklumat yang ada ditangannya. Jalannya dipercepat bagaikan orang yang mau menagih hutang, dia tidak memperdulikan kakinya yang pincang tertusuk kerikil jalanan. Sesampainya di depan rumah, dia terkejut melihat kerumunan orang di rumahnya. Dengan sigap, ia memasukkan maklumat itu ke dalam baju dan berusaha menerobos kerumunan warga.
Dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat sosok tubuh terkujur kaku di ruang tamu, diantara para pelayat yang berdatangan. Ia berteriak histeris seakan tidak percaya melihat apa yang terjadi.
”Tidak...tidak mungkin... tidak mungkin ini terjadi, tidak....tidak....” teriaknya.
Namun, tidak ada seorangpun yang bergeming dan memperdulikannya, ia terus berteriak, menjerit dan meronta, lagi-lagi tak seorangpun yang peduli, bahkan anaknya sendiri hanya duduk terdiam memandangi tubuh kaku dengan wajah pucat didepannya.
“Larso... ini tidak mungkin Larso... lihat bapak nak, lihat aku, aku ada disini”. Lagi-lagi ia meronta supaya Sularso menyapanya.
”Aku akan selalu bersamamu sampai kau dan negara ini berjaya nak... lihatlah... lihatlah... apa yang aku bawa, ini adalah rahasia kehidupan yang akan membawa kita dan negara ini menuju kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian. Kita tidak perlu berdebat lagi, kau boleh bertindak menurut kebenaran yang kau yakini, aku berjanji nak... aku berjanji...aku tidak akan menuntut kau menjadi diri yang lain” teriak Suroso sambil mengusap-usap wajah anaknya yang sedang bengong.
Maklumat yang ada dibalik bajunya dibentangkan di depan wajah Larso, namun Larso tidak juga bergerak dan menghiraukan maklumat yang dipegangnya.
”Bapak... aku tahu bapak kecewa dengan sikapku, tapi bapak tidak perlu menyikapinya dengan cara seperti ini, bangunlah pak... bangun... jangan biarkan aku sendiri, maafkan aku, maafkan anakmu yang tidak tahu balas budi ini, kalau bapak mati, siapa lagi yang akan mengusap kepalaku dan menceritakan dongeng di saat aku mau tertidur, kalau bapak mati siapa lagi yang akan aku panggil bapak.” Kata Larso membatin seraya memeluk dan menciumi wajah bapaknya yang dingin seperti es berulang kali. Air matanya mengalir membasahi wajah yang selama ini memberinya inspirasi dan kedamaian.
Namun, tubuh kaku Suroso yang ditemukan terkujur di pemakaman pahlawan tidak bisa lagi memberikan respon apapun, senyum manis dibibirnya menandakan ia mati dengan damai, wajahnya pun berseri-seri seolah ia menerima kematian itu dengan senang hati.
Keesokan harinya, Sularso terlihat sibuk menyiapkan acara pemakaman dan melayani tamu yang berdatangan. Wajah murung dan senyum seadanya menandakan kalau ia amat sangat terpukul dengan kematian bapaknya.
Sesuai dengan permintaannya, Suroso dimakamkan di pemakaman umum, dekat makam isteri dan empat orang anaknya. Tidak ada yang istimewa dalam acara pemakaman tersebut, tidak ada upacara penghormatan dan tembakan senapan ataupun karangan bunga, diantara para pelayat juga tidak ada satupun diantaranya pejabat tinggi negara, kecuali pak RT dan isterinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar