Sabtu, 26 September 2020

Pendidikan dan Politik Kekuasaan

Di berbagai kesempatan, banyak peserta yang bertanya kenapa pendidikan kita seakan tidak mampu mengakomodir kebutuhan pebelajar untuk menjalani hidup dan kehidupannya setelah menjalani masa-masa studi yang begitu melelahkan dengan aturan dan kurikulum yang sangat padat? adakah relevansi antara perhelatan pesta demokrasi dengan masa depan pendidikan, baik secara nasional maupun lokal?

                                                                                          gambar : Haipedia.com

Pertanyaan-pertanyaan yang sedikit pesimis, namun kritis tersebut didasarkan pada fakta bahwa pendidikan kita selama ini ibarat "jauh panggang dari api" atau "jauh bumi dan langit" dengan realitas hidup masyarakatnya. Hal ini bermula dari kebijakan politik pendidikan orde baru yang tersentralisasi (kontrol dan intervensi pemerintah pusat), pendidikan harus seragam (baik dari ilmu pengetahuan yang dituangkan dalam kurikulum maupun infrastrukturnya), sama sekali tidak mengakomodir khasanah kekayaan/potensi lokal (local indegineous).

Perubahan pemimpin (presiden dan kepala daerah) lantas tidak mendukung (unsupported) terjadinya perubahan paradigma pendidikan (sampai hari ini masih mengamini positivisme sebagai dewa penyelamat dan dewa kebenaran), teori kebenaran tunggal (unity truth) adalah salah satu clue begitu kentalnya pendidikan/dunia persekolahan dengan doktrin profit oriented.Sekolah/Universitas hanya disediakan untuk mereka-mereka yang mampu secara finansial, sedangkan masyarakat miskin dipaksa menerima takdir dan nasib mereka sebagai orang miskin yang tidak memiliki masa depan. Pendidikan menjadi barang langka dan menjadi salah satu instrumen ekonomi bahkan oleh lembaga/yayasan sosial sekalipun.   

Selain itu, pendidikan pada zaman orde baru (baik swasta maupun negeri) cenderung hanya sebagai alat justifikasi politik kekuasaan. Berlaku turun temurun selama kurun waktu 32 tahun (waktu yang sangat ideal untuk tumbuh dan kuatnya sistem penjajahan yang sangat halus dan masif sesuai dengan otoritas penguasa). Bagaimana kemudian, tradisi dan budaya berpikir kritis analitik dan kreatif tidak mendapatkan ruang, menyebabkan pendidikan bergerak sangat lamban (informasi dan kemajuan teknologi bergerak dengan sangat cepat sementara pendidikan berjalan lamban) terkekang dibawah hegemoni kuasa dan kepentingan.

Dampak yang sangat nyata kita rasakan dan alami sekarang di tahun 2020, dimana era disrupsi dan distorsi di segala bidang kehidupan terjadi dengan kejutan-kejutan yang hampir belum pernah kita bayangkan. Pendidikan kita belum mampu menerima perbedaan dan menyesuaikan diri dengan gelombang perubahan yang terjadi secara global. Boooooom wabah covid19 muncul, seluruh sekolah dan perguruan tinggi panik dan hampir tak percaya dengan tuntutan perubahan cara pandang, pola, pendekatan, metode, strategi dan teknik pembelajaran."Gaptek" menjadi jargon pembenar dan tameng untuk menyatakan pengakuan terhadap kinerja rutinitas dan monoton di ruang-ruang kelas selama ini.

 

      


Tidak ada komentar: