Sabtu, 22 Agustus 2009

BAB II: LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Evaluasi Program
2.1.1.1 Definisi Evaluasi Program
Sebagaimana yang dikutip Napis (2000:3), bahwa banyak definisi evaluasi program dapat diperoleh dari buku-buku yang ditulis ahlinya, antara lain: a) Ralph Tayler; evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauhmana tujuan pendidikan dapat dicapai, b) Cronbach, Stufflebeam, dan Alkin; evaluasi ialah menyediakan informasi untuk pembuat keputusan, c) Maclcolm dan Provus; evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih, d) Scriven, Glas, dan stufflebeam (joint commitee); evaluasi ialah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek.

Worthe dan Sanders (1981:19) mendefinisikan : “Evaluation is the determination of the worth. of a thing. It includes obtaining information for use in judging the worth of program, product, procedure, or objective or the pontetial utility of alternative approach designed to attain specified objectives”.
Sedangkan Ditjen Dikmenum (2002:2), mengungkapkan bahwa evaluasi program merupakan suatu proses sistematis dalam mengumpulkan, dan menginterpretasikan informasi yang umumnya diperoleh melalui pengukuran untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program pendidikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian evaluasi mempunyai konotasi kegiatan pengumpulan data atau informasi tentang pencapaian tujuan, proses dan pelaksanaan program yang dilakukan secara sistematik dan metodologik ilmiah sehingga menghasilkan data yang akurat dan objektif. Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk menentukan nilai atau tingkat keberhasilan program dilihat dari segi kualitas kinerja panitia untuk kepentingan apakah program dilanjutkan, dimodifikasi atau dihentikan.

2.1.1.2 Dasar Pembuatan Kriteria Evaluasi Program
Istilah “kriteria” dalam penelitian sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar”. Kriteria adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur (Suharsimi Arikunto & Cepi Safruddin, 2004: 14).
Selanjutnya yang dimaksud dengan istilah “dasar” dalam pembuatan standar atau kriteria adalah sumber pengambilan kriteria secara keseluruhan. Ada tujuh sumber pembuatan kriteria yaitu:
1) Sumber Pertama
Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi kebijakan, maka yang dijadikan kriteria atau tolok ukur adalah peraturan atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang bersangkutan.
Apabila penentu kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara khusus, maka penyusunan kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum yang sudah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah dicabut masa berlakunya.
2) Sumber Kedua
Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan buku pedoman atau petunjuk pelaksanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang informasi yang lengkap, antara lain dasar pertimbangan dikeluarkannya kebijakan, prinsip, tujuan, sasaran, dan rambu-rambu pelaksanaannya. Butir-butir yang tertera di dalamnya, terutama dalam tujuan kebijakan, mencerminkan harapan dari kebijakan. Oleh karena itu, petunjuk pelaksanaan itulah distatuskan sebagai sumber kriteria.

3) Sumber Ketiga
Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan yang dapat digunakan oleh penyusun sebagai sumber kriteria, maka penyusun menggunakan konsep atau teori-teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah.
4) Sumber Keempat
Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk pelaksanaan, dan juga tidak ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk menggunakan hasil penelitian. Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu pada hasil penelitian yang baru saja diselesaikan oleh seorang peneliti (apalagi peneliti pemula), tetapi disarankan sekurang-kurangnya hasil penelitian yang sudah dipublikasikan atau diseminarkan. Jika ada, yang sudah disajikan kepada orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan umum.
5) Sumber Kelima
Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan mantap, dapat minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang mempunyai kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah yang dikenal dengan expert judgment.
6) Sumber Keenam
Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang dapat diandalkan sebagai orang yang lebih memahami masalah dibanding penyusun juga sukar dicari atau dihubungi, maka penyusun dapat menentukan kriteria secara bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang program yang dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah bahwa seorang expert tentunya memiliki keahlian yang menonjol, sedangkan kelompok yang diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai kemampuan lebih. Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini merupakan hasil kesepakatan kelompok.
7) Sumber Ketujuh
Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga tidak ada, sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu sulit, maka jalan terakhir adalah melakukan pemikiran sendiri. Dalam keterpaksaan seperti ini penyusun kriteria atau tolok ukur hanya mengandalkan akal atau nalar penyusun sendiri sebagai dasar untuk menyusun kriteria yang akan digunakan dalam mengevaluasi program. Jika ternyata sesudah digunakan dalam mengevaluasi masih menjumpai kesulitan, penyusun harus meninjau kembali dan wajib memperbaikinya berkali-kali sampai mencapai suatu rumusan yang sesuai dengan kondisi yang diinginkan (Suharsimi Arikunto & Cepi Safruddin, 2004: 16-18).

Dari ketujuh sumber tersebut di atas, yang digunakan dalam penelitian ini sebagai sumber kriteria adalah sumber kedua yakni perangkat monitoring dan evaluasi yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Tahun 2002.
Sedangkan menurut Fatah (1999:112), ada dua jenis kriteria yang dapat dipergunakan dalam evaluasi program yaitu kriteria internal dan eksternal. Kriteria internal adalah standar yang dapat diaplikasikan terhadap suatu program dalam kerangka program itu sendiri. Kriteria eksternal adalah standar yang ditetapkan terhadap suatu program dari suatu sumber luar kerangka program, kriteria internal, sebagai berikut.
1) Koherensi yaitu konsistensi diantara unsur-unsur yang bertautan.
2) Penyebaran sumber, yaitu apakah sumber-sumber daya manusia yang tersedia dan kemampuannya yang signifikansi dalam program. Banyak program mengalami kegagalan bukan karena desain yang tidak tepat.
3) Tanggapan pemakai, yaitu sikap dan reaksi pemakai yang berpartisipasi dalam program sering menjadi kriteria misalnya kepuasan, namun terhadap tujuan dan minat.
4) Tanggapan penyedia, yaitu mengacu kepada tanggapan pihak yang menyediakan program, dinilai dengan kriteria yang dijabarkan dan tujuan-tujuan program yang ditetapkan.
5) Keefektifan penggunaan biaya (cost effectiveness), yaitu mengkuantifikasikan penggunaan program.

Kriteria eksternal terdiri dari :
1) Pengarahan kebijakan, yaitu seberapa jauh pengarahan yang ditentukan oleh penanggung jawab program.
2) Cost benefit analysis, yaitu menghendaki perkiraan keuntungan program.

2.1.1.3 Fungsi Evaluasi Program
Stufflebeam dan Shinkfield (1985:7), menyatakan bahwa fungsi evaluasi adalah “perbaikan, akuntabilitas, dan pencerahan”. Perbaikan dimaksudkan untuk mengubah dan meningkatkan kualitas baik program, proses maupun hasilnya, sedangkan akuntabilitas adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya hasil program dan proses yang dijalankan, pencerahan berarti memperbaiki kriteria penilaian yang telah ditentukan sebelumnya”.
Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi program, yaitu:
1) Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).
3) Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4) Menyebarluaskan program, karena program tersebut berhasil dengan baik, maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain. (Arikunto & Safruddin, 2004: 8-9).

Scriven (dalam Fernandes, 1984:1) mengidentifikasikan fungsi evaluasi sebagai berikut.
1) Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang bertujuan untuk mengumpulkan data pada waktu pelaksanaan suatu program. Informasi yang dikumpulkan adalah untuk memperbaiki memodifikasi dan program yang sedang berlangsung.
2) Evaluasi sumatif, dilakukan setelah kegiatan benar-benar telah dilaksanakan. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan sejauhmana suatu program memiliki nilai pemanfaatan terutama jika dibandingkan dengan pelaksanaan program-program yang lain.

Dari kedua fungsi evaluasi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengevaluasi sebuah program dapat dilakukan pada saat program sedang dilaksanakan dan pada saat program telah selesai dilaksanakan. Hal ini bisa saja dilakukan pada sebuah program secara bersamaan, artinya ketika program tersebut sedang dalam pelaksanaan, maka eavaluasi sudah bisa dimulai sehingga nantinya diperoleh langkah-langkah perbaikan untuk terus melanjutkan program. Dan pada waktu yang lain ketika program tersebut sudah selesai dilaksanakan, maka dilakukan lagi evaluasi secara keseluruhan menyangkut apakah program tersebut masih cocok atau tidak pada waktu mendatang.

2.1.1.4 Model Evaluasi Program
Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat sejumlah model evaluasi yang digambarkan dan menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan dan dijelaskan bagaimana melakukan jenis evaluasi tertentu. Menurut Fernandes (1984:7) bahwa model evaluasi meliputi: (1) Model CIPP, (2) Model Stake, (3) Model Diskrepansi, (4) Model Scriven, (5) Model CSE, dan (6) Model yang berlawanan.
Model CIPP digunakan untuk mengevaluasi program dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi yang memiliki kepentingan. Stufflebeam (Fernandes, 1984:7), membedakan model evaluasi berdasarkan kepentingannya yaitu: Evaluasi Context, Input, Proses, Product (CIPP).

2.1.1.5 Menguji Karakteristik Program
Menurut Finsterbuach dan Motz (1980: 23), agar riset evaluasi berguna untuk memperbaiki program riset, harus mengukur tidak saja hasil melainkan juga karakteristik program dan lingkungan (Setting). Evaluator perlu meneliti karakteristik, menemukan karakteristik dan lingkungan apa yang berkaitan dengan keberhasilan dan mana yang mempengaruhi kegagalan. Banyak karakteristik program yang relevan untuk mengevaluasi keberhasilan, diantaranya yang cukup kritikal adalah: (1) karakteristik personil atau staf program; (2) karakteristik penerima program; (3) metode yang dipakai; (4). jadwal program dan (5) ukuran program.
2.1.2 Gambaran Umum Pendidikan Dasar di Kabupaten Lombok Timur 3 (tiga) tahun terakhir (2004-2007)
2.1.2.1 Kondisi Layanan Pendidikan Dasar
Agar mempermudah alur pemahaman dalam penelitian ini, perlu diuraikan tentang gambaran umum pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun yaitu sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. di mana kondisi layanan pendidikan ini merupakan dasar dikeluarkannya kebijakan pemerataan pendidikan dasar melalui program pemberian beasiswa bagi siswa rawan drop out terutama miskin dan perempuan. Singkatnya, layanan pendidikan dasar di kabupaten Lombok Timur ditampilkan dalam bentuk tabel sebagaimana berikut ini
Tabel 2.1 : Gambaran Umum Kondisi Pendidikan Dasar di Kabupaten Lombok Timur 3 (tiga) tahun terakhir (2004-2007)


No INDIKATOR Kondisi Pendidikan 3 Tahun Terakhir
2004/2005 2005/2006 2006/2007
1 SD-MI
APK 108,49 119,69 114,89
APM 94,23 94,49 94,75
Partisipasi Anak Perempuan 97,72 98,52 99,32
DO 1,18 1,12 1,06
Tingkat Penyelesaian Sekolah 84,82 86,52 88,22
Angka melanjutkan 88,05 92,05 96,05
Rasio siswa/sekolah 251 247 244
Rasio siswa/kelas 36 37 38
Rasio siswa/guru 44 43 42
Rasio kelas/guru 0,87 0,92 0,97
Rasio kelas/ruang kelas 1,17 1,12 1,07
Guru yang layak mengajar 78,75 82,5 86,25
Gedung sekolah yang layak 76,32 80,88 85,44
2. SMP-MTs
APK 78,19 82,12 86,05
APM 65,5 70,34 75,18
Partisipasi Anak Perempuan 80,05 83,37 86,69
DO 2,68 2,12 1,56
Tingkat Penyelesaian Sekolah 86,6 87,73 88,86
Angka melanjutkan 75,34 76,89 78,44
Rasio siswa/sekolah 343 349 354
Rasio siswa/kelas 47 45 42
Rasio siswa/guru 17,27 18,51 19,75
Rasio kelas/guru 0,34 0,37 0,4
Rasio kelas/ruang kelas 1,3 1,21 1,12
Guru yang layak mengajar 88,48 88,98 89,48
Gedung sekolah yang layak 85,46 86,96 88,46

2.1.2.2 Profil Pendidikan Dasar di Kabupaten Lombok Timur
2.1.2.2.1 Pemerataan Pendidikan
Analisis pemerataan pendidikan di Lombok Timur hanya dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) baik APK SD-MI maupun APK SLTP-MTs.
1) SD – MI
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI kabupaten Lombok Timur baru mencapai 104,68 persen, bila dibandingkan dengan standar minimal sebesar 120 persen relatif masih rendah. Dari 20 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, terdapat 3 kecamatan dengan APK di bawah 100 persen, yaitu kecamatan sukamulia (97,93%), Pringgabaya (98,06%), Suralaga (95,66%).
Tabel 2.1. APK SD/MI PAKET A SETARA Kabupaten Lombok Timur Tahun 2004/2005


No. Kecamatan Jumlah Siswa SD-MI Paket A Setara Jumlah Anak Usia SD-MI APK SD-MI
1 SELONG 9,810 9,284 105.67
2 SUKAMULIA 3,920 4,003 97.93
3 SAKRA 6,680 6,553 101.94
4 KERUAK 6,563 5,991 109.55
5 MASBAGIK 11,897 11,094 107.24
6 SIKUR 9,138 8,876 102.95
7 TERARA 9,329 8,900 104.82
8 AIKMEL 13,925 13,752 101.26
9 PRINGGABAYA 12,562 12,810 98.06
10 SAMBELIA 4,226 3,624 116.61
11 LABUHAN HAJI 6,878 6,571 104.67
12 SURALAGA 7,357 7,691 95.66
13 SAKRA TIMUR 5,584 5,177 107.86
14 SAKRA BARAT 6,362 6,098 104.33
15 JEROWARU 7,083 6,062 116.84
16 PRINGGASELA 7,359 7,164 102.72
17 MONTONG GADING 5,315 4,851 109.57
18 WANASABA 8,840 8,501 103.99
19 SEMBALUN 2,906 2,782 104.46
20 SUELA 5,877 5,042 116.56
Jumlah 151,611 144,826 104.68
Sumber: Hasil Pemetaan Tahun 2004/2005.

2) SLTP – MTs
APK SLTP-MTs yang dicapai kabupaten Lombok Timur berdasarkan hasil pendataan tahun 2004/2005 masih rendah, yaitu 75,26 persen dengan tingkat variasi antar kecamatan cukup tinggi. APK yang dicapai kabupaten ini masih jauh dari standar nasional 90 persen. Hal ini tentu menuntut kerja keras semua pihak terkait untuk tuntasnya Wajar 9 tahun pada tahun 2008. Dari 20 Kecamatan yang ada, 2 kecamatan mempunyai APK kurang dari 60 persen, yaitu kecamatan Sukamulia (46,80%) dan Jerowaru (47,55%)
Tabel 2.2: APK SLTP – MTs PAKET B SETARA Kabupaten Lombok Timur Tahun 2004/2005


No Kecamatan Jumlah Siswa Jumlah Anak Usia 13-15 APK SMP-MTs
1 SELONG 5,478 5,499 99.62
2 SUKAMULIA 980 2,094 46.80
3 SAKRA 2,618 3,824 68.46
4 KERUAK 2,459 2,915 84.36
5 MASBAGIK 5,103 6,173 82.67
6 SIKUR 3,786 4,663 81.19
7 TERARA 3,046 4,710 64.67
8 AIKMEL 4,318 6,206 69.58
9 PRINGGABAYA 4,215 6,186 68.14
10 SAMBELIA 958 1,498 63.95
11 LABUHAN HAJI 2,512 3,573 70.31
12 SURALAGA 2,690 3,650 73.70
13 SAKRA TIMUR 1,729 2,433 71.06
14 SAKRA BARAT 2,627 3,251 80.81
15 JEROWARU 1,458 3,066 47.55
16 PRINGGASELA 2,186 3,313 65.98
17 MONTONG GADING 2,318 2,367 97.93
18 WANASABA 4,021 4,410 91.18
19 SEMBALUN 989 1,049 94.28
20 SUELA 1,560 2,268 68.78
JUMLAH 55,051 73,148 75.26
Sumber: Hasil Pemetaan Tahun 2004/2005.

2.1.3 Gambaran Umum Program Pemerataan Pendidikan Dasar
Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu kabupaten yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi (1.044,673 jiwa, luas wilayah 1.605,55) dengan tingkat kemiskinan yang begitu memperihatinkan, di mana laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1999 hanya 2,33%. Sementara lama sekolah penduduknya rata-rata 6,21 tahun.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Lombok Timur mencatat skor tertinggi dalam kasus perceraian dari 55.000 kasus perceraian yang terjadi di NTB pada tahun 2002.(Bali Post, 2004). Selain itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga dan poligami juga turut memberikan andil dalam mengkonstruksi pranata sosial antara laki-laki dan perempuan, perempuan masih menjadi subordinasi dari kaum laki-laki.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Lombok Timur ini mulai semakin terpuruk setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang lalu. Meningkatnya harga BBM dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari (Sembako) menjadikan para orang tua memaksa anak-anak mereka untuk berhenti sekolah, banyak anak-anak usia sekolah (7-12 tahun) yang mencari kerja guna membantu keluarga mereka mencari nafkah, ada juga yang memilih untuk kawin muda dan sebagainya. Persoalan ini kemudian menjadi pemicu terjadinya kesenjangan sosial antara yang miskin dan yang kaya, slogan-slogan protes seperti : ”Orang miskin dilarang sekolah”, ”Mendagangkan Sekolah”, dan semacamnya menjadi marak di mana-mana.
Hal ini berdampak serius bagi pendidikan di daerah ini, angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar (SD-MI dan SLTP-MTs), pada tahun 2002/2003 mencapai 5,1% dari 204.783 orang siswa atau 10.239 orang. Dari jumlah tersebut, murid perempuan merupakan kelompok yang paling dominan (Depdikbud Lombok Timur, 2004).
Melihat kenyataan sosial ekonomi masyarakat yang demikian besar dampaknya terhadap dunia pendidikan. Maka pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah mengambil langkah konkrit untuk keluar dari permasalahan tersebut, yakni dengan melaksanakan program pemerataan akses pendidikan dasar melalui program pemberian beasiswa retrival, yang pendanaannya dibebankan kepada proyek desentralisasi pendidikan dasar (DBEP) ADB.
Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (Decentralized Basic Education Project_DBEP) adalah suatu proyek desentralisasi pendidikan dasar dengan menggunakan dana Loan dari Asian Development Bank (ADB) dan APBN/APBD yang dimaksudkan untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar bagi masyarakat miskin di propinsi NTB, Bali dan DKI Jakarta (DEPDIKNAS,2002:1).
Proyek ini bertujuan untuk mendukung tujuan-tujuan PROPENAS dalam : 1) mereduksi kemiskinan dan kesenjangan dalam perkembangan manusia dengan meningkatkan akses dan penyelesaian pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi anak-anak miskin; dan 2) mengimplementasikan otonomi daerah dengan mendukung manajemen pendidikan dasar yang terdesentralisasi.
Sedangkan sasarannya adalah: 1) meningkatkan partisipasi dan penyelesaian sekolah anak-anak miskin dalam pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas; 2) mengembangkan kapasitas kabupaten untuk merencanakan, mengelola, membiayai, dan menyelenggarakan layanan pendidikan dasar; dan 3) mendemonstrasikan keefektifan mekanisme keuangan berbasis kebutuhan untuk mendukung inisiatif-inisiatif berbasis sekolah, masyarakat, dan kab/kota untuk peningkatan pendidikan dasar.
Lahirnya program ini sebenarnya adalah hasil keseluruhan dari Focus Group Discussion (FGD), yang dilaksanakan oleh tim satgas perencana pendidikan kabupaten bersama dengan konsultan DBEP ADB Paket 2 pada tahun 2003 yang lalu. Hasil FGD tersebut kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (RPPK) Tahun 2004 – 2009.
Mekanisme pelaksanaan program, dilakukan dengan menjaring data anak-anak yang tidak bersekolah atau anak-anak jalanan/gelandangan, melalui bantuan kepala desa/lurah (untuk anak-anak jalanan dan sejenisnya), tipe anak-anak yang masuk ke dalam kategori ini akan dibiayai melalui dana pengembangan pendidikan kabupaten (DPPK), sedangkan untuk anak-anak yang putus sekolah karena alasan ekonomi dilakukan dengan memilih/merangking kecamatan yang akan dijadikan sebagai wilayah proyek (pelaksanaannya dilakukan oleh Tim MBS kabupaten bersama dengan pengelola proyek kabupaten). Selanjutnya, kecamatan yang terpilih akan merangking sekolah mana yang diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan dana (dilakukan oleh tim MBS kecamatan dan KCD). Berdasarkan hasil perangkingan sekolah tersebut, masing-masing sekolah kemudian menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang berisi profil sekolah, visi, misi, analisis situasi dan analisis kebutuhan sekolah. Pembiayaanya dialokasikan melalui dana pengembangan sekolah (RPS).
Dalam penelitian ini, indikator pemerataan akses pendidikan dasar digunakan indikator sebagaimana ditulis oleh Kintamani (2003) dalam Koyan (2007). Indikator pemerataan terdiri atas 4 kelompok, yaitu: (1) partisipasi pendidikan, (2) akses pendidikan, (3) rasio pendidikan, dan (4) tingkat pelayanan sekolah.
Kelompok pertama Partisipasi Pendidikan terdiri atas 3 indikator, yaitu (a) Angka Partisipasi Kasar (APK), (b) Angka Partisipasi Murni (APM), dan (c) Angka Partisipasi Murni Usia Sekolah (APMus ).
a. Angka Partisipasi Kasar (APK)
APK adalah perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk kelompok usia sekolah dan dinyatakan dalam persentase. Untuk menghitung APK, diperlukan data dasar:
1) Jumlah siswa seluruhnya menurut jenjang pendidikan, yaitu TK, SD-MI, SMP-MTs, SMA/SMK, dan PT
2) Jumlah penduduk usia sekolah, yaitu TK: 4 – 6 tahun; SD: 7 – 12 tahun; SMP: 13 – 15 tahun; SMA/SMK: 16 -18 tahun; dan PT: 19 -24 tahun.
3) Khusus untuk Pendidikan Luar Sekolah (PNF) adalah peserta didik Paket A setara dan Paket B setara.


Jumlah siswa di jenjang pendidikan tertentu*)
Rumus: APK = -----------------------------------------------------x 100
Jumlah penduduk kelompok usia tertentu

*) TK : usia 4 – 6 tahun
SD : usia 7 -= 12 tahun
SMP : usia 13 – 15 tahun
SMA/SMK : usia 16 – 18 tahun
PT : usia 19 – 24 tahun

Kriteria: makin tinggi APK berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah, atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan tertentu. Nilai APK bisa lebih besar dari 100%, karena usia siswa di luar usia resmi sekolah, siswa berasal dari daerah lain, daerah perkotaan, atau daerah perbatasan.

Kegunaan: Untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan

b. Angka Partisipasi Murni (APM)
APM adalah perbandingan antara jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang bersekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Untuk menghitung APM, diperlukan data dasar:
1) Jumlah siswa menurut usia sekolah dan jenjang pendidikan (TK, SD, SMP, SMA/SMK, dan PT)
2) Jumlah penduduk usia sekolah, yaitu TK: 4 – 6 tahun; SD: 7 – 12 tahun; SMP: 13 – 15 tahun; SMA/SMK: 16 -18 tahun; dan PT: 19 -24 tahun

Jumlah siswa kelompok usia sekolah di jenjang pendidikan tertentu*)
Rumus:APM = -------------------------------------------------------------------------------x100
Jumlah penduduk kelompok usia tertentu



*) TK : usia 4 – 6 tahun
SD : usia 7 -= 12 tahun
SMP : usia 13 – 15 tahun
SMA/SMK : usia 16 – 18 tahun
PT : usia 19 – 24 tahun

Kriteria : Makin tinggi APM berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di tingkat pendidikan yang sesuai di suatu daerah. Nilai ideal APM = 100%, jika lebih besar dari 100% berarti adanya siswa usia sekolah dari luar daerah bersekolah di daerah tersebut, diperbolehkannya mengulang di setiap tingkat, daerah perkotaan, atau daerah perbatasan.
Kegunaan : Untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan yang sesuai dengan daerah.


c. Angka Partisipasi Murni usia sekolah (APMus)
APMus adalah perbandingan antara jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang bersekolah pada beberapa jenjang pendidikan dan dinyatakan dalam persentase. Untuk menghitung APMus, diperlukan data dasar:
1. Jumlah siswa menurut usia sekolah dan jenjang pendidikan, yaitu SD: usia 6 – 12 tahun dan >12 tahun, SMP: usia < 13 tahun, 13 – 15 tahun, dan > 13 tahun, SMA/SMK: usia < 16 tahun, 16 -18 tahun, dan > 19 tahun, serta PT: usia < 19 tahun, 19-24 tahun dan > 24 tahun.
2. Jumlah penduduk usia sekolah, yaitu: SD: 7 – 12 tahun; SMP: 13 – 15 tahun; SMA/SMK: 16 -18 tahun; dan PT: 19 -24 tahun

Jumlah siswa kelompok usia sekolah di beberapa jenjang pendidikan*)
Rumus:APM = -------------------------------------------------------------------------------x100
Jumlah penduduk kelompok usia tertentu

*) TK : usia 4 – 6 tahun
SD : usia 7 -= 12 tahun
SMP : usia 13 – 15 tahun
SMA/SMK : usia 16 – 18 tahun
PT : usia 19 – 24 tahun

Kriteria : Makin tinggi APMus berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Nilai ideal APMus = 100%, jika lebih besar dari 100% berarti terdapat kesalahan data atau karena siswa berasal dari luar daerah.
Kegunaan : Untuk mengetahui banyaknya anak kelompok usia sekolah yang telah bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah dan merupakan alat ukur pemerataan pendidikan yang paling mendekati dan paling baik jika dibandingkan dengan APK dan APM.

Kelompok kedua Akses Pendidikan terdiri atas 3 indikator, yaitu angka penyerapan kasar dan angka penyerapan murni (khusus untuk SD), serta angka melanjutkan (khusus untuk SMP, SMA/SMK, dan PT)
d. Angka Penyerapan Kasar (ASK) (khusus untuk SD)
ASK adalah perbandingan antara jumlah siswa baru kelas I tingkat SD dengan jumlah penduduk usia resmi masuk sekolah tingkat SD dan dinyatakan dalam persentase. Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah siswa baru tingkat I SD semua usia
2) Jumlah penduduk usia masuk sekolah ke tingkat SD adalah penduduk 7 tahun

Jumlah siswa baru tingkat SD*)
Rumus: ASK = --------------------------------------- x 100
Jumlah penduduk usia 7 tahun **)


*) SD dan MI
**) usia resmi masuk SD dan MI

Kriteria : Makin tinggi ASK berarti makin banyak siswa masuk sekolah yang tidak sesuai dengan usia resmi di suatu daerah. Nilai ASK bisa lebih besar dari 100% karena banyak siswa yang masuk sekolah di luar usia resmi, yaitu usia 6 tahun dan 8 sampai 10 tahun.

Kegunaan : Untuk mengetahui banyaknya anak usia masuk sekolah yang telah bersekolah di tingkat SD.


e. Angka Penyerapan Murni (ASM) (khusus untuk tingkat SD)
ASM adalah perbandingan antara jumlah siswa baru kelas I SD yang berusia resmi masuk tingkat SD dengan jumlah penduduk usia resmi masuk sekolah tingkat SD dan dinyatakan dalam persentase.
Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah siswa baru usia 7 tahun di tingkat SD
2) Penduduk usia masuk sekolah ke tingkat SD adalah 7 tahun

Jumlah siswa baru tingkat I SD usia 7 tahun *)
Rumus: ASM = ----------------------------------------------------- x 100
Jumlah penduduk usia 7 tahun **)


*) SD dan MI
**) usia resmi masuk SD dan MI

Kriteria : Makin tinggi ASM berarti makin banyak siswa masuk sekolah yang sesuai dengan usia resmi masuk sekolah di suatu daerah. Nilai ASM maksimal = 100% yaitu sesuai dengan usia resmi.

Kegunaan : Untuk mengetahui ketepatan anak usia masuk sekolah tingkat SD sehingga dapat ditentukan kebijakan baru.


f. Angka Melanjutkan (AM) (SMP, SMA/SMK, PT)
AM adalah perbandingan antara siswa baru tingkat I dengan jumlah lulusan dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan dinyatakan dalam persentase.
Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah siswa baru tingkat I pada jenjang pendidikan tertentu
2) Jumlah lulusan pada jenjang setingkat di bawahnya




Jumlah siswa baru tingkat I pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: AM = -------------------------------------------------------------------------- x 100
Jumlah lulusan pada jenjang pendidikan yang lebih rendah**)
tahun ajaran sebelumnya

*) tingkat SMP dan SMA/SMK
**) tingkat SD dan tingkat SMP

Kriteria : Makin tinggi angka AM makin baik. Nilai AM idealnya = 100% , berarti semua lulusan dapat ditampung pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kegunaan : Untuk mengetahui banyaknya lulusan yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau mengetahui daya serap dari sekolah yang lebih tinggi sehingga dapat ditentukan kebijakan baru.

Kelompok ke tiga Rasio Pendidikan, terdiri atas 4 indikator, yaitu rasio siswa per sekolah, siswa per kelas (khusus untuk SMP dan SMA/SMK), siswa per guru dan kelas per ruang kelas (khusus untuk SMP dan SMA/SMK).
g. Rasio Siswa per Sekolah (R-S/Sek)
Rasio Siswa per Sekolah adalah perbandingan antara jumlah siswa dengan sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah siswa menurut jenjang pendidikan
2) Jumlah sekolah menurut jenjang pendidikan

Jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: R-S/Sek = ------------------------------------------------------------x 100
Jumlah sekolah pada jenjang pendidikan tertentu*)


*) SD, MI, SMP, MTs, SMA/SMK, MA, PT

Kriteria : Makin tinggi rasio berarti makin padat siswa di sekolah atau makin kurang jumlah sekolah di suatu daerah.

Kegunaan : Untuk mengetahui rata-rata besarnya sekolah di suatu daerah.

h. Rasio Siswa per Kelas (R-S/K)
Rasio Siswa per Kelas adalah perbandingan antara jumlah siswa dengan jumlah kelas pada jenjang pendidikan tertentu. Data dasar yang diperlukan :
1) Jumlah siswa menurut jenjang pendidikan
2) Jumlah kelas menurut jenjang pendidikan

Jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: R-S/K = ------------------------------------------------------------x 100
Jumlah kelas pada jenjang pendidikan tertentu*)


*) SD, MI, SMP, MTs, SMA/SMK, MA,

Kriteria : Makin tinggi rasio berarti makin padat siswa di kelas atau makin kurang jumlah ruang kelas di suatu daerah.

Kegunaan : Untuk mengetahui rata-rata besarnya kelas di suatu daerah.

i. Rasio Siswa per Guru (R-S/G)
Rasio Siswa per Guru adalah perbandingan antara jumlah siswa dengan guru pada jenjang pendidikan tertentu. Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah siswa menurut jenjang pendidikan
2) Jumlah guru menurut jenjang pendidikan

Jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: R-S/G = ------------------------------------------------------------x 100
Jumlah guru pada jenjang pendidikan tertentu*)

*) SD, MI, SMP, MTs, SMA/SMK, MA,

Kriteria : Makin tinggi rasio berarti makin banyak siswa yang harus dilayani oleh seorang guru atau makin kurang jumlah guru di suatu daerah.

Kegunaan : Untuk mengetahui rata-rata banyaknya siswa yang harus dilayani oleh guru di suatu daerah.


j. Rasio Kelas per Ruang Kelas (R-K /RK)
Rasio Kelas per Ruang Kelas adalah perbandingan antara jumlah kelas dengan ruang kelas pada jenjang pendidikan tertentu. Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah kelas menurut jenjang pendidikan
2) Jumlah ruang kelas menurut jenjang pendidikan

Jumlah kelas pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: R-K/RK = --------------------------------------------------------------x 100
Jumlah ruang kelas pada jenjang pendidikan tertentu*)


*) SD, MI, SMP, MTs, SMA/SMK, MA,

Kriteria : Nilai 1 berarti ruang kelas hanya digunakan sekali, kurang dari 1 berarti terdapat ruang kelas yang tidak digunakan atau kosong, dan lebih dari satu berarti terdapat ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali.
Kegunaan : Untuk mengetahui kekurangan/ kelebihan ruang kelas di suatu daerah.

k. Rasio Kelas per Guru (R-K/G)
Rasio Kelas per Guru adalah perbandingan antara jumlah kelas dengan guru pada jenjang pendidikan tertentu. Data dasar yang diperlukan:
1) Jumlah kelas menurut jenjang pendidikan
2) Jumlah guru menurut jenjang pendidikan

Jumlah kelas pada jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: R-K/G = --------------------------------------------------------------x 100
Jumlah guru pada jenjang pendidikan tertentu*)


*) SD, MI, SMP, MTs, SMA/SMK, MA,

Kriteria: Makin rendah rasio berarti makin banyak guru jika dibandingkan dengan kelas di suatu daerah.

Kegunaan: Untuk mengetahui kekurangan atau kelebihan guru khusus SD dan MI di suatu daerah.

Kelompok empat, Pelayanan Pendidikan terdiri atas 2 indikator, yaitu perbandingan antarjenjang dan tingkat pelayanan sekolah.
l. Perbandingan antar jenjang pendidikan (PAJ)
PAJ adalah perbandingan antara jenjang pendidikan tertentu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Data dasar yang diperlukan:
jumlah sekolah menurut jenjang pendidikan, yaitu SD, SMP, SMA/SMK dan PT.

Jumlah sekolah jenjang pendidikan tertentu *)
Rumus: PAJ = --------------------------------------------------------------x 100
Jumlah sekolah jenjang pendidikan lebih tinggi**)

*) SD, MI, SMP, MTs, SMK/SMK
**) SMP, MTs, SMA/SMK, MA,PT

Kriteria : Makin tinggi nilai PAJ berarti makin besar kesenjangan antara sekolah jenjang pendidikan tertentu dengan jenjang yang lebih tinggi.
Kegunaan : Untuk mengetahui kekurangan jumlah sekolah pada jenjang yang lebih tinggi sehingga dapat ditentukan cara penanggulangannya.

m. Tingkat Pelayanan Sekolah (TPS)
TPS adalah banyaknya penduduk usia 7 – 12 tahun atau lulusan yang akan melanjutkan yang harus dilayani oleh sekolah ekuivalen. Sekolah ekuivalen adalah sekolah yang di asumsikan memiliki 6 kelas sehingga dapat dibandingkan antara SD dengan SMP dan SMA/SMK. Data dasar yang digunakan:
1) Jumlah penduduk usia 7 -12 tahun (khusus SD)
2) Jumlah lulusan menurut jenjang pendidikan
3) Jumlah kelas menurut jenjang pendidikan

Jumlah kelas
Rumus: Sek ekuivalen = -------------
6

Jumlah penduduk usia sekolah
Rumus: TPS sd = --------------------------------------
Jumlah sekolah ekuivalen


Jumlah penduduk usia sekolah*)
Rumus: TPS smp/sma = --------------------------------------
Jumlah sekolah ekuivalen

*) Tingkat SD atau tingkat SMP

Kriteria : Makin kecil nilainya berarti makin baik karena makin banyak kesempatan belajar di sekolah, walaupun ada batas minimalnya.

Kegunaan : Untuk mengetahui besarnya kesempatan belajar yang dapat disediakan oleh sekolah di suatu daerah.

2.1.4 Gambaran Umum Program Pemberian Beasiswa Retrival
a) Latar Belakang
Program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out (DO) terutama miskin dan perempuan diharapkan dapat mempersempit kesenjangan dalam mengakses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat dan dapat mengurangi angka putus sekolah, serta meningkatkan mutu pendidikan yang selama ini terpuruk.
Sesuai dengan namanya, program ini lebih mengutamakan pemberian bantuan kepada masyarakat yang tidak/kurang mampu secara ekonomi dan jenis kelamin perempuan lebih diprioritaskan dengan alasan yang telah disebutkan di atas. Bahwa kondisi kehidupan perempuan di Lombok Timur begitu memperihatinkan, di mana perempuan Lombok menghadapi persoalan yang jauh lebih kompleks tidak hanya berhadapan dengan kuatnya ideologi patriarki dan ideologi familialisme yang mengakar dalam kultur masyarakat tetapi juga berhadapan dengan kapitalisme sebagai kekuatan baru ketika mereka masuk dalam wilayah publik.
Sekaitan dengan hal tersebut, ada empat sasaran pokok pembangunan pendidikan di Kabupaten Lombok Timur, yaitu : (1) peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, (3) peningkatan efisiensi dan (4) pengembangan peran serta masyarakat dalam rangka penuntasan wajib belajar (WAJAR) 9 tahun yang bermutu pada tahun 2009. Untuk mencapai sasaran itu, diperlukan trobosan-trobosan yang bersifat inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan baik pada perencanaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasinya.
Untuk mencapai sasaran tersebut, masih banyak kendala yang dihadapi, antara lain angka drop out terutama pada tingkat SMP/MTs masih tinggi, angka melanjutkan dari SD/MI ke tingkat yang lebih tinggi masih rendah, dan masih banyak anak-anak usia 7-15 tahun yang belum/putus sekolah. Berdasarkan hasil pendataan tahun 2005/2006. Angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun di Kabupaten Lombok Timur baru mencapai 92,38 persen dan APS 13-15 tahun hanya 69,80 persen. Dari data di atas berarti masih terdapat 19.119 anak dari 153.604 anak usia 7-12 tahun 25.319 dari 83.231 orang anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah.
Berbagai dugaan menjadi penyebab masalah di atas, antara lain faktor kemiskinan dengan berbagai dampaknya seperti anak bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perkawinan usia muda. Selain itu, juga faktor budaya seperti masih ada keluarga yang malu menyekolahkan anak-anaknya yang cacat (tuna netra, tuna rungu dll).
Salah satu program yang eligible (layak dibiayai) dari Dana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (DPPK) Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (DBEP-ADB) adalah program pemberian beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, terutama perempuan yang rentan putus sekolah dan atau yang belum sekolah karena kemiskinan atau cacat. Sumber dana lain untuk menjaga agar anak-anak yang telah drop out seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” yang jumlahnya cukup memadai memang secara sepintas dapat dikatakan mampu mengurangi jurang kesenjangan dalam akses pendidikan antara yang kaya dan miskin, namun untuk menarik mereka yang telah drop out dan atau belum mengenyam pendidikan sama sekali sampai saat ini belum ada sumber pendanaannya.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya program pemberian beasiswa yang bersumber dari dana pengembangan pendidikan kabupaten/kota (DPPK). Sasaran pemberian beasiswa yang bersumber dari DPPK-DBEP-ADB Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2006/2007 akan diutamakan anak-anak yang telah drop out agar dapat bersekolah lagi dan mereka yang belum mengenyam dunia pendidikan karena kemiskinan dan faktor lainnya.

b) Dasar Pelaksanaan
Dasar pelaksanaan kegiatan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007 ini mengacu pada:
1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuanagan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
4. Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur Nomor 11 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Lombok Timur ;
7. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lombok Timur Nomor : 420/034/PK.ADB/2007, Tanggal 30 Nopember 2007 tentang Pemberian Beasiswa Retrival dan;
8. Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA) Kegiatan Desentralisasi Pendidikan Dasar Jakarta Nomor : 0109.0/023-03.0/-/2006 tanggal 31 Desember 2006.

c) Pengertian
Program pemberian beasiswa yang dimaksudkan disini adalah pemberian beasiswa yang dananya bersumber dari Dana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (DPPK) melalui Bagian Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (DBEP) ADB Kabupaten Lombok Timur yang diperuntukkan bagi siswa yang telah drop out atau yang belum mengenyam pendidikan karena miskin dan atau karena cacat.

d) Sasaran Program
Sasaran dari Kegiatan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007 adalah : Siswa–siswi SD/MI sebanyak 400 orang dan Siswa SMP/MTs. Sebanyak 830 orang (data penerima beasiswa terlampir).

e) Tujuan program
Tujuan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007 adalah untuk.
1. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan di SD/MI maupun SMP/MTs terutama bagi anak miskin dan yang membutuhkan layanan khusus.
2. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan di SD/MI maupun SMP/MTs terutama bagi anak miskin dan yang membutuhkan layanan khusus.
f) Tipe Siswa dan Kriteria Sekolah Penyelenggara Program Retrival
1) Tipe Penerima
Ada 2 (dua) tipe siswa penerima beasiswa DPPK, yaitu:
1. Tipe 1, yaitu anak putus sekolah usia 7-12 tahun untuk SD/MI dan usia 13-15 tahun untuk SMP/MTs karena alasan miskin dan atau anak yang membutuhkan pelayanan khusus;
2. Tipe 2, yaitu anak usia sekolah usia 7-12 tahun untuk SD/MI dan usia 13-15 tahun untuk SMP/MTs yang tidak bersekolah karena miskin dan atau yang membutuhkan pelayanan khusus.
2) Indikator setiap Tipe Calon Penerima

Tipe Indikator
1 (a) Anak putus sekolah terutama putus sekolah pada kelas IV s.d. VI SD/MI
(b) Anak putus sekolah terutama putus sekolah pada kelas I, II, dan III SMP/MTs.
(c) Anak pada SMTP Terbuka atau SD Pamong
(d) Bertempat tinggal jauh dari lembaga penyelenggara pendidikan
(e) Mempunyai komitmen bersama antara anak (siswa), orang tua siswa, komite dan kepala sekolah untuk mengikuti retrival
2 Anak usia sekolah (7 tahun ke atas) tetapi tidak pernah sekolah karena:
(a) Kemiskinan orang tuanya;
(b) Tidak mempunyai orang tua;
(c) Jarak tempat tinggal relatif jauh dari sekolah (daerah terpencil)
(d) Kesadaran orang tua rendah;
(e) Cacat (Tuna Netra, Tuna Rungu dll) tetapi mempunyai semangat untuk sekolah);
(f) Mempunyai komitmen bersama antara anak (siswa), orang tua siswa, komite dan kepala sekolah untuk menyelenggarakan program retrival yang dikuatkan dengan surat pernyataan bersama.
Catatan:
1. Nilai tambah pada anak dengan jenis kelamin perempuan;
2. Anak yang berasal dari Tipe 1 dan 2 diusulkan sebagai calon penerima beasiswa bila yang bersangkutan dan orang tua atau walinya sanggup melanjutkan dan atau sudah masuk dan terdaftar sebagai siswa di sekolah/madrasah.

3) Kriteria Sekolah Penerima
Kriteria sekolah penyelenggara program retrival adalah sekolah yang memiliki persyaratan:
1. di wilayah sekitar sekolah masih banyak terdapat penduduk usia sekolah yang belum bersekolah.
2. di wilayah sekitar sekolah masih banyak terdapat anak putus sekolah (DO);
3. memiliki ruang kelas, guru dan tenaga kependidikan lainnya serta fasilitas pendukung untuk kegiatan belajar mengajar yang memadai
4. memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan program retrival dengan berlandaskan transparansi, akuntabilitas, partisipatif, dan berkelanjutan.

g) Proses Penentuan Sekolah Penyelenggara Program Retrival
1) Lembaga Pengusul Calon Penerima
Semua sekolah baik SD/MI dan SMP/MTs yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas dapat mengajukan usul untuk menyelenggarakan program retrival.
2) Lembaga Pengelola Tingkat Kabupaten
Penentuan sekolah dan siswa penerima beasiswa ditetapkan oleh Lembaga Pengelola Kabupaten yang terdiri dari Tim Pengarah Proyek Kabupaten, Dewan Pendidikan, Tim MBS kabupaten
3) Mekanisme seleksi Sekolah/Madrasah
Adapun mekanisme seleksi sekolah/madrasah penyelenggara program retrival adalah sebagai berikut:
1. Kepala sekolah, komite sekolah dan unsur pemerintah desa termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat melakukan pendataan tentang:
a. Siswa DO di sekitar wilayah sekolah;
b. Penduduk usia sekolah yang belum/tidak sekolah;
c. Latar belakang sosial ekonomi dan sosial budaya siswa DO serta penduduk usia sekolah yang belum bersekolah.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan form-1 (lihat lampiran)
2. Sekolah mengajukan usul untuk mendapatkan beasiswa retrival ke Tim MBS Tingkat Kabupaten melalui Tim Pengelola Kecamatan (KCD PDK setempat). Pengajuan dilakukan dengan menggunakan form-2 (lihat lampiran)
3. Tim pengelola kecamatan akan melakukan verifikasi terhadap data yang diajukan sekolah;
4. Berdasarkan hasil verifikasi, tim MBS kecamatan melanjutkan usulan sekolah ke Tim Pengelola Kabupaten;
5. Tim MBS kabupaten akan melakukan verifikasi terhadap data sekolah yang diajukan Tim MBS kecamatan;
6. Berdasarkan usulan dan hasil verifikasi, Tim Kabupaten menetapkan sekolah dan jumlah siswa penerima beasiswa retrival melalui surat.

4) Tahap-tahap Pelaksanaan Program Retrival pada Tingkat Sekolah
1. Pembuatan surat keputusan kepala sekolah tentang nama-nama siswa penerima beasiswa retrival, yang tembusannya disampaikan kepada Komite Sekolah, Kepala Desa/Lurah, Tim MBS kecamatan dan Tim MBS kabupaten;
2. Melakukan sosialisasi terbatas kepada guru, siswa Penerima Beasiswa Program Retrival, orang tua siswa dan komite sekolah;
3. Penyusun program retrival meliputi kurikulum, ketenagaan, keuangan, supervise dan lainnya;
4. Pelaksanaan program retrival sesuai program yang sudah disusun;
5. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan untuk mengetahui efektif dan efisien program retrival;
6. Menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan dan pelaksanaan program secara keseluruhan.

h) Alokasi Jumlah Siswa Penerima dan Pemanfaatan Beasiswa
1) Alokasi Jumlah Penerima Beasiswa
Alokasi jumlah penerima beasiswa yang bersumber dari DPPK-DBEP kabupaten Lombok Timur sebanyak 400 orang untuk SD/MI dan 830 orang untuk SMP/MTs dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 2.2: Alokasi jumlah penerima beasiswa retrival

No Jenjang Jumlah Penerima (Orang) Jumlah Beasiswa/Siswa/
Tahun (Rp) Jumlah Dana (Rp)
1 SD/MI 400 500.000,- 200.000.000,-
2 SMP/MTs 830 800.000,- 640.000.000,-
Jumlah 1.230 1.300.000,- 840.000.000,-

Pembatasan jumlah ini semata-mata karena jumlah DPPK yang tersedia untuk beasiswa, dan persentase untuk SMP/MTs jauh lebih besar karena angka partisipasi pendidikan di Kabupaten Lombok Timur pada tingkat SMP/MTs masih rendah.

2) Pemanfaatan Beasiswa
Penggunaan beasiswa antara lain :
1. Talangan Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI sebesar Rp. 324.500 per tahun dan SMP/MTs Rp. 424.500 per tahun
2. Beasiswa per bulan Rp. 15.000,- untuk SD/MI dan Rp. 20.000 untuk SMP/MTs;
3. Biaya pakaian seragam, ATK dan lain-lain sebesar 295.500 untuk SD/MI dan 335.500 untuk SMP/MTs.



Jenjang Talangan BOS (Rp) Beasiswa (Rp) Pakaian Seragam/ATK (Rp) Jumlah (Rp)
SD-MI 325.000,- 120.000,- 145.000,- 500.000,-
SMP-MTs 324.500,- 180.000,- 295.500,- 800.000,-

3) Strategi dan mekanisme pelaksanaan
Strategi dan mekanisme pelaksanaan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007 sebagai berikut:
Tabel 2.3: Strategi dan mekanisme pelaksanaan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007

No Tahap Kegiatan Strategi Mekanisme pelaksanaan
Peran Masing-masing

1 Persiapan Rapat Koordinasi Kegiatan Sosilasisai :
1. Pembentukan panitia, Narasumber dan Tim Penyeleksi.
2. Penentuan Materi, Teknik Kegiatan, Narasumber, Jadwal, Tempat Kegiatan, dan peserta.
3. Teknik Pelaksanaan Monev dan Pelaporan.

Kegiatan Pemberian Beasiswa :
3. Penentuan teknik pelaksanaan dan tempat kegiatan.
4. Teknik Pelaksanaan Pelaporan dan
5. Penyusunan Laporan
Kegiatan Sosialisai :
1. Tim DPMU dan EMS membantu panitia menyusun pedoman pelaksanaan.
2. Ketua pelaksana membagi tugas dan tanggungjawab ke masing-masing anggota.

Kegiatan Pemberian Beasiswa :
1. Tim DPMU dan EMS membantu panitia menyusun pedoman pelaksanaan.
2. Ketua pelaksana membagi tugas dan tanggungjawab ke masing-masing anggota.

2 Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Sosialisasi :
1. Pembukaan.
2. Materi Kegiatan :
· Kebijakan Pemerintah Pemerintah Kabupaten Lombok Timur Dalam Bidang Pendidikan.
· Pengarahan tentang Pedoman Beasiswa Retrival dan
· Penjelasan Data
3. Diskusi Kelompok dan pleno
4. Penutupan/ Doa

Kegiatan Pemberian Beasiswa :
1. Pembukaan.
2. Pengarahan Kadis PDK
3. Sambutan Bupati
4. Pemberian Besiswa
5. Penutupan/ Doa
Kegiatan Sosialisasi :
1. Panitia mendampingi selama kegiatan pelatihan dan menyusun kegiatan tindak lanjut.
2. Narasumber dan
Instruktur menfasilitasi dalam pelatihan.
3. Kades yang tersebar di 20 kecamatan se- Kabupaten Lombok Timur sebagai peserta mengikuti kegiatan.

Kegiatan Pemebrian Beasiswa :
1. Panitia mendampingi selama kegiatan pelatihan dan menyusun kegiatan tindak lanjut.
2. Narasumber dan
Instruktur menfasilitasi dalam pelatihan.
6. Siswa SD/MI dan SMP/MTs. yang tersebar di 20 kecamatan se- Kabupaten Lombok Timur sebagai peserta kegiatan.

3 Monev Self Evaluation Kegiatan Sosialisasi :
1. Menjelang berakhirnya kegiatan, panitia memberikan beasiswa berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan.
2. Dari hasil analisis dijadikan feed back untuk peningkatan kegiatan berikutnya .
3. Menyusun laporan kegiatan

Kegiatan Pemberian Beasiswa :
1. Menjelang berakhirnya kegiatan, panitia memberikan beasiswa berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan.
2. Dari hasil analisis dijadikan feed back untuk peningkatan kegiatan berikutnya .
3. Menyusun laporan kegiatan
Kegiatan Sosialisasi :
1. Tim DPMU yang dibantu panitia memberikan masukan terhadap hasil evaluasi dan kegiatan tindak lanjut
2. Panitia menyusun, menggandakan,dan mendistribusikan leporan kegiatan.

Kegiatan Pemberian Beasiswa :
1. Tim DPMU yang dibantu panitia memberikan masukan terhadap hasil evaluasi dan kegiatan tindak lanjut
2. Panitia menyusun, menggandakan,dan mendistribusikan leporan kegiatan.





Mekanisme penyaluran dana beasiswa retrival adalah sebagai berikut:
1) komite pengarah kabupaten menugaskan Pemimpin kegiatan DBEP-ADB Kabupaten Lombok Timur untuk menyalurkan dana beasiswa ke Rekening Sekolah pada PD, BPR, LKP setempat;
2) Talangan BOS dikelola oleh sekolah yang diperuntukkan sama dengan pengelolaan/penggunaan dana PKPS-BBM bidang pendidikan;
3) Pihak sekolah mengelola dana sesuai dengan ketentuan berdasarkan kebutuhan;
4) Penggunaan dana lain-lain untuk keperluan: Pakaian seragam siswa, pendataan, pembiayaan dan bimbingan siswa yang bersangkutan.


i) Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan Pemberian Beasiswa Retrival Tahun 2007 di bagi dua tahap :
Tahap Pertama : Sosialisasi dilaksanakan di Aula BSK Suryawangi selama 1 (satu) hari, mulai tanggal, 13 Agustus 2007 dan
Tahap Kedua : Pemberian Beasiswa dilaksanakan di Aula Gedung Darma Wanita selama 1 (satu) hari, mulai tanggal, 5 Desember 2007.
2.1.5 Teori Kemiskinan
2.1.5.1 Pengertian Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;
v terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi;  jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,  tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
v terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
v terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
v terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
v lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
v memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
v lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
v lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
v besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. 
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah  kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Dengan demikian pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah sebagai berikut:
1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila:
a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.
b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari.
c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,bekerja/sekolah dan bepergian.
d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari.

2.1.5.2 Masyarakat Miskin
Menurut Gunawan Sumodiningrat (dalam Makmun, 2003), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: 1) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation), 2) Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness), 3) Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility). 4) Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan 4) Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).
Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat dan berkeadilan secara sosial.
2.1.6 Konsep Gender
Munculnya terminologi gender sebagai perspektif dalam kajian wacana perempuan telah menunjukkan hasil yang signifikan. Konsep gender dinilai lebih obyektif dari pada konsep perempuan yang cenderung mengisolasi perempuan dari laki-laki (Abdullah, 2001: 23). Konsep perempuan lebih fokus pada perempuan itu sendiri sehingga yang diperhatikan lebih kepada ”sistem” di mana perempuan mengambil peran. Berbeda dengan perspektif gender yang tidak hanya fokus kepada perempuan tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam realitas hidup perempuan. Gender lebih menunjuk pada relasi di mana laki-laki dan perempuan berinteraksi (Abdullah, 2001).
Gender adalah sebuah konsep yang menjelaskan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996: 8). Gender merupakan wilayah kultural yang sengaja diciptakan oleh individu-individu dalam masyarakat yang akan berubah setiap saat sesuai dengan tuntutan kepentingan (Mosse, 1996: 3). Misalnya, perempuan itu dikenal sebagai makhluk yang emosional, lemah lembut, dan pasif, sedangkan laki-laki adalah makhluk rasional, kuat, perkasa, dan aktif. Sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki di atas bukan suatu hal deterministik, tetapi sebuah konstruksi sosial yang bisa berubah dan dapat dipertukarkan. Perempuan zaman sekarang memiliki sifat yang sama dengan laki-laki seperti rasional, kuat, dan aktif. Sayangnya, fakta ini sering diputarbalikkan oleh kelompok yang tidak menginginkan kepentingannya terganggu (Fakih, 1996).
Gender sebagai sebuah konstruksi sosial setidaknya mengalami tiga proses momentum yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia baik dalam aktifitas fisis maupun mentalnya (Berger, 1991: 4). Manusia membangun dunianya yang belum terbentuk dimulai dengan persetubuhan mereka melalui aktifitas-aktifitas mikro yang dilakukan. Di sini manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan pembagian-pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Penafsiran dan pembelajaran tentang perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan menurut Freud dimulai sejak bayi sampe ke tingkat remaja. Kehadiran dan ketidak hadiran penis pada manusia menjadi simbol pengenalan identitas gender (gender identity) maskulin atau feminim (Giddens, 1997).
Momentum ekternalisasi sebagai pembentukan dunia manusia dengan melahirkan peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan mengalami obyektivasi. Obyektivasi adalah disandangnya produk aktifitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas berhadapan dengan produsernya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisistas) yang ekternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri (Berger, 1991). Pola gender yang dikonstruk oleh manusia menjadi realitas sosial yang eksis di luar dirinya. Gender yang menjadi faktisitas di luar manusia memiliki daya paksa yang kuat di mana manusia dipaksa untuk memilih peran yang sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara kolektif. Manusia berhadapan dengan karya (made in) mereka sendiri. Jadi, ia tidak hanya diciptakan tetapi juga eksis dan punya kekuatan yang memaksa produsernya.
Momentum internalisasi merupakan momentum yang menjadi babak akhir dari penciptaan dunia manusia. Intrenalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia yang obyektif ke dalam struktur-struktur subyektif (Berger, 1991). Pola gender yang telah dikonstruksi tersebut diresapi kembali oleh manusia kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam momentum internalisasi, konstruksi gender mengalami kesempurnaan di mana terjadi pendifinisian peran dan status antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosialisasi. Konstruksi gender tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah ketetapan yang tidak boleh dingkari oleh manusia, bahkan manusia harus menerima dan menjaganya. Manusia dengan sendirinya tidak hanya memilih pola gender yang sudah ditetapkan tetapi juga mengevaluasi sendiri apakah pola gender tersebut sesuai dengan nilai-nilai dari tatanan sosial yang dibangun.
Dari ketiga momentum di atas, eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi, terbentuklah pola gender yang definitif. Definisi peran dan status antara laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam masyarakat dikonstruk sedemikian rupa sehingga menjadi realitas obyektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia. Manusia tidak hanya merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan dan melestarikannya tetapi juga merasa bersalah kalau menyimpang atau tidak melakukannya. Sementara tuntutan akan perubahan pola gender terus bergulir khsusunya karena beberapa kepentingan yang tidak terakomodir akibat dari pola gender yang tidak seimbang. Maka, kontrol sosial (social control) adalah suatu yang sangat penting untuk mempertahankan konstruksi gender tersebut. Bentuk kontrol sosial dilakukan dengan sosialisasi dan legitimasi. Sosialisasi dimaksudkan supaya pola yang terbentuk tidak terpotong. Dalam sosialisasi terdapat proses dialogis yang berkelanjutan antara generasi lama dengan generasi baru (Berger, 1991). Sosialisasi bisa dilakukan melalui berbagai media seperti institusi keluarga, pemerintah dan agama. Dalam institusi keluarga misalnya, orangtua mendidik anak-anak laki-laki dan perempuannya secara berbeda sesuai dengan pola gender yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Misalnya, anak perempuan didandani dengan pakaian perempuan dan dibelikan mainan boneka yang bersifat feminim, sedangkan anak laki-laki diberi mainan boneka yang khas maskulin. Sebagaimana lembaga keluarga, lembaga pemerintah dan keagamaan juga mempunyai peran yang sangat besar dalam sosialisasi tersebut (Berger, 1991).
Selain sosialisasi, legitimasi juga sangat penting dalam mempertahankan pola gender dalam masyarakat. Legitimasi merupakan ”pengetahuan” yang diobyektivasi secara sosial bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991). Agama secara historis merupakan instrumentalitas legitimasi yang paling tersebar dan efektif. Agama melegitimasikan sedemikian efektifnya karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas dari masyarakat-masyarakat empiris dengan realitas purna (Berger, 1991).
Bentuk legitimasi yang paling kuno adalah konsepsi tatanan kelembagaan yang langsung mencerminkan atau mewujudkan struktur ilahi kosmos, yaitu hubungan antara masyarakat dan kosmos sebagai hubungan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Di dalam lembaga kekerabatan misalnya, semua kegiatan manusia ”keluarga” terdapat unsur-unsur partisipatif Tuhan di dalamnya, termasuk perilaku seksualitas manusia mencerminkan kreatifitas ilahiyah (Berger, 1991).
Peran agama dalam sosialisasi dan legitimasi terhadap konstruksi gender dalam masyarakat sebagaimana yang digambarkan di atas, maka agama secara tidak langsung terlibat dalam konstruksi tersebut atau setidaknya mempengaruhi. Meskipun agama berbeda dengan budaya dalam beberapa aspek tetapi keduanya adalah bagian dari konstruksi sosial (socially constructed) yang memiliki hubungan yang sangat erat. Agama dan budaya selalu dalam jalur dialektis dan dialogis sehingga sulit memisahkan mana ruang budaya dan mana ruang agama. Ajaran agama berupa teks kitab suci turun dalam suatu komunitas di mana terdapat budaya yang berkembang di dalamnya. Teks berdialog dengan konteks (sosio-budaya) masyarakat. Teks tidak akan pernah lahir tanpa ada konteks, artinya tidak ada ajaran agama tanpa ada yang menyebabkan lahirnya ajaran tersebut yakni konteks. Oleh karena itu, agama sendiri menjadi sumber-sumber yang signifikan dalam pendefinisian budaya terhadap peran gender (McGuire, 1981: 91).
Peran agama dalam konstruksi gender sudah menjadi blue print dalam masyarakat di mana agama dijadikan sebagai referensi atas pendefinisian peran laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial. Di dalam kitab suci agama-agama dunia terdapat pendefinisian peran dan status laki-laki dan perempuan. Sayangnya, belum ada kitab suci yang memposisikan perempuan dalam posisi ideal, sebaliknya perempuan selalu dalam posisi yang subordinatif. Dalam tradisi Bible, perempuan (Hawa) diasumsikan sebagai ciptaan nomor dua setelah Adam. Dalam tradisi agama lain perempuan juga dilarang membaca kitab suci selaama priode menstruasi karena dianggap masa kotor. Belum lagi kecenderungan ajaran agama yang menempatkan perempuan dalam wilayah domestik dan laki-laki pada wilayah publik. Menurut Asgar Ali Engineer semua ini tidak lepas dari aktor-aktor yang terlibat dalam agama di mana laki-laki adalah pihak mayoritas (Engineer, 2003: 64).
Pola gender yang terkonstruk dalam masyarakat akan terus mengalami perubahan (lihat Mosse) seiring dengan tuntutan kebutuhan dan kepentingan dalam masyarakat. Tidak hanya karena pengaruh dekonstruksi pemahaman keagamaan yang dapat merubah pola gender dalam masyarakat, akan tetapi modernisasi mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar. Modernisasi yang ditandai dengan sain dan teknologi membawa dampak perubahan sosial (social changes) yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat (Giddens, 1997 525). Norcholis Madjid (dalam bukunya Hassan, 1987: 31) mengatakan modernisasi telah meruntuhkan pola-pola hidup tradisional yang mapan (status quo) ke dalam bentuk kehidupan yang rasional, dinamis dan progresif. Perubahan akibat modernisasi dapat dilihat dalam bidang ekonomi, politik dan budaya (Giddens, 1997). Dalam bidang ekonomi, muculnya industri kapitalisme ke daerah-daerah sebagai bentuk ekpansi produksi seperti pabrik-pabrik tidak hanya melibatkan tenaga kerja laki-laki tetapi juga tenaga kerja perempuan (lihat Kuntowidjojo, Presma: Novem-Des: 1983). Perempuan yang dulu hanya sebagai ibu rumah tangga telah masuk dalam wilayah publik ketika mereka bekerja di pabrik-parik. Tentu masuknya mereka dalam wilayah publik akan menggeser atau paling tidak mengurangi peran mereka dalam wilayah domestik (sebagai ibu rumah tangga). Dalam wilayah ini juga akan terjadi perubahan prilaku dalam diri mereka karena adanya interaksi dengan kelompok lain di mana dengan interaksi tersebut akan menjadi media pembelajaran dalam melihat prilaku kelompok lain, atau tidak menutup kemungkinan dengan interaksi tersebut akan mencipatakan prilaku-prilaku baru. Sedangkan dalam bidang politik, kebebasan yang menjadi landasan partai-partai politik modern telah mengundang partisipasi perempuan di dalamnya. Suara feminisme yang menuntut hak-hak politiknya membuka keran bagi perempuan di seluruh dunia untuk ambil bagian secara aktif. Keterlibatan perempuan dalam politik secara otomatis telah mengeser perannya sebagai ibu rumah tangga menjadi wanita karir. Begitu juga dalam bidang budaya, akulturasi budaya baik secara langsung atau tidak langsung akan merubah perilaku-prilaku mereka. Secara tidak langsung misalnya, media internet, televisi, dan parabola telah melahirkan perspektif-perspektif baru bagi mereka. Sadar atau tidak sadar perempuan-perempuan desa telah dimasuki budaya global yang siap merubah perspektif yang selama ini dibangun. Perspektif-perspektif baru yang masuk dan ditiru oleh mereka mempunyai pengaruh terhadap perilaku-prilaku mereka dalam masyarakat. Di sini juga terjadi pergeseran peran akibat perspektif-perspektif baru yang muncul dalam kehidupan perempuan. Maka, dapat dikatakan bahwa modernisasi merupakan salah satu sumber eksternal yang dapat merubah kosntruksi gender dalam masyarakat.

Obyetivasi
Eksternalisasi
Internalisasi




Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa gender adalah sebuah konsep yang menjelaskan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, dimana didalamnya perempuan merupakan hasil dari proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

2.2 Kajian Pustaka/Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Tim SMERU (Ahmadi, dkk), tentang permasalahan pendidikan dan program JPS Beasiswa, dan DBO di empat Propinsi. Studi kasus dilakukan di empat kabupaten yaitu: kabupaten Pontianak, kabupaten Tangerang, kabupaten Sleman dan kabupaten Lombok Timur. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui kondisi pendidikan secara menyeluruh sebelum krisis; (ii) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan seorang murid tetap sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan studinya selama masa krisis; (iii) Mengetahui dampak krisis terhadap kualitas pendidikan dan permasalahan pendidikan lainnya; dan (iv) Mengetahui efektivitas program JPS Beasiswa dan DBO, khususnya tentang ketepatan sasaran dan jumlah bantuan (beasiswa dan DBO), bentuk bantuan DBO, manfaat dan kendala, serta kesesuaian mekanisme pelaksanaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, tim peneliti melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden (informan) yang meliputi: (i) Para siswa tingkat SD dan SLTP, baik yang memperoleh maupun tidak memperoleh beasiswa; (ii) Orang tua murid; (iii) Para anggota Komite, baik tingkat Propinsi, Kecamatan ataupun Sekolah; (iv) Guru-guru sekolah non anggota komite; (v) Anggota BP3; (vi) CIMU/PIMU, LSM; (vii) Para informan kunci/tokoh masyarakat lainnya; dan (viii) Aparat pemerintah/Pemda yang terkait dengan program, terutama dari unsur Bappeda, Kanwil/Kandep/Dinas Dikbud, Depag, BKKBN, dan Kantor Pos. Pendekatan secara FGD juga dilakukan terhadap kelompok siswa, guru dan orang tua murid. Selain itu, sebelum dan selama penelitian lapangan juga digali informasi dari berbagai data sekunder seperti data statistik, laporan dan hasil studi, juklak program serta informasi lainnya yang relevan. Studi lapangan dilakukan selama 3 minggu pada bulan Oktober-Nopember 1999, yang dilakukan secara serentak di empat lokasi pengamatan oleh masing-masing tim yang terdiri dari 2 orang peneliti. Dengan menggunakan metode tersebut tim peneliti menyimpulkan bahwa permasalahan efektivitas program beasiswa dan DBO lebih banyak terjadi pada pentargetan sasaran, ketepatan besarnya dana, penggunaan dan pencairan dana dan efektifitas komite dalam melakukan monitoring dan pengawasan program.
Penelitian yang dilakukan oleh Makmun (2003), tentang gambaran kemiskinan dan action plan penanganannya. Dengan dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya indeks kemiskinan akibat terjadinya krisis ekonomi, peneliti berupaya mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan pola penanggulangannya. Di mana menurut hasil yang diperoleh, bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh: (1) Kemiskinan struktural. Penyebab struktural adalah yang berhubungan dengan kebijakan dan lembaga yang ada di masyarakat yang menghambat produktivitas dan mobilitas masyarakat. (2) Penyebab kultural yang berkaitan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif, tingkat pendidikan yang rendah, dan kondisi kesehatan dan gizi yang buruk. (3) Penyebab alamiah yang ditunjukkan oleh kondisi alam dan geografis, misalnya keteriolasian daerah. Atas dasar hasil temuannya itu peneliti merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut pertama, dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan diperlukan adanya penanganan secara sungguh-sungguh. Seiring dengan dinamika masyarakat pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan melalui pola pembangunan partisipasi, yaitu menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai subyek atau aktor pembangunan. Kedua, dalam rangka penanggulangan kemiskinan hal-hal yang perlu dipersiapkan dan dilakukan adalah: (a) Pemahaman atau visi misi yang sama terhadap konsep penduduk miskin, (b) Langkah pemecahan, yaitu ditempuh dengan pemberdayaan masyarakat, (c) Peran pelaku penanggulangan kemiskinan adalah penduduk miskin itu sendiri. Pemerintah dan masyarakat yang sudah mampu hanya menjadi fasilitator (pendamping), (d) Perlu adanya koordinasi yang baik, (e) Adanya kelembagaan yang berfungsi sebagai penyaluran (delivering), penerima (receiving), pendampingan (fasilitator), pelestarian (berkelanjutan), dan (f) Perlunya monitoring dan evaluasi.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Hoesien, dengan judul : Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, DLL) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Lebih memfokuskan diri pada persamaan hak melalui regulasi (hukum) bagi kepentingan kelompok yang dikatakan rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing DLL). Melalui kajian hukum, peneliti berkesimpulan bahwa : (a) Berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang ada sebenarnya sudah cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan. Pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum maksimal disamping penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat perundangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat. (b) Kelemahan penegakan hukum dapat disebabkan karena peraturan perundang-undangan kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini merupakan akibat kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusun suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Dari kesimpulan tersebut, peneliti merekomenasikan : (a) Perlu penegakan hukum (Law Enforcement) dari instansi pemerintah yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok rentan. (b) Dipandang mendesak untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut hak-hak kelompok rentan dengan mengakomodasikan perspektif HAM dalam peraturan perundang-undangan. (c) Perlu peningkatan penyuluhan hukum dan HAM kepada aparatur pemerintah yang menangani masalah kelompok rentan dan kelompok-kelompok strategis lainnya, seperti pemuka masyarakat, tokoh-tokoh agama dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan (d) Disarankan agar suatu peraturan perundang-undangan lahir dari proses penelitian aspirasi, kondisi dan kebutuhan yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
Kajian tematis yang dilakukan oleh Endah Trista Agustina, tentang perempuan dan pembangunan perdamaian di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Kajian ini membahas isu yang berkaitan dengan dampak konflik dan peran perempuan dalam proses pembangunan perdamaian di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara dilihat dari perspektif jender. Dari hasil kajian ini diketahui bahwa konflik telah menyebabkan terjadinya perubahan pola pembagian kerja berdasarkan jender. Perubahan ini antara lain menunjukkan bahwa di banyak rumah tangga, laki-laki tidak lagi menjadi pencari nafkah utama keluarga dikarenakan terbatasnya mobilitas kegiatan ekonomi laki-laki sebagai akibat dari konflik. Perempuan dan anak-anak secara bersama-sama juga berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Peran perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk peran mereka dalam proses pengambilan keputusan di dalam keluarga dan masyarakat juga meningkat. Perubahan peran ini disatu sisi telah meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri perempuan, namun di sisi lain telah mengakibatkan beban kerja yang lebih berat bagi perempuan. Partisipasi perempuan di bidang politik juga mulai meningkat, walaupun masih terbatas pada kegiatan politik di tingkat desa. Banyak perempuan yang menjadi kepala desa, ketua RT, dan anggota dewan desa sebagai dampak positif dari peran aktif mereka di bidang perdamaian dan kemanusiaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Tim SMERU (Ahmadi, dkk), tentang Gender dan Kemiskinan. Penelitian ini berupaya mengungkap keterkaitan antara gender dan kemiskinan yang merupakan fenomena yang komplek, rubrik kajian yang dilakukan menampilkan persepsi perempuan dan laki-laki tentang kemiskinan. Dalam penelitian ini juga dibahas mengenai ketimpangan gender di bidang pendidikan dan pasar tenaga kerja, di mana angka partisipasi perempuan lebih rendah bila dibandingkan laki-laki. Artinya, jumlah anak laki-laki lebih banyak yang bersekolah daripada perempuan, hal ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya: persepsi masyarakat mengenai perempuan dalam konstruksi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Dari data penelitian yang dilakukan tersebut, tim peneliti berkesimpulan bahwa berbagai dimensi kemiskinan yang dialami perempuan di Indonesia diperlukan perhatian terhadap isu gender dalam penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian diperlukan kepekaan gender dalam merancang dan menganalisis kajian-kajian kemiskinan, agar isu gender dapat ditangkap dengan baik dan upaya penanggulangan kemiskinan dapat mempertimbangkan kepentingan laki-laki dan perempuan secara berimbang.
Penelitian yang dilakukan oleh Erna Sofyan Syukrie, tentang pemberdayaan perempuan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bergesernya pemahaman masyarakat global mengenai kesetaraan jender di semua bidang kehidupan, budaya-budaya patriarki yang sangat diskriminatif telah bergeser dengan adanya budaya global, kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan dimungkinkan. Dengan mendasarkan diri pada analisa yuridis (hukum), peneliti menyimpulkan bahwa: (1) Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi, kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya. (2) Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita sudah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 tahun 1984, sehingga menurut kenyataan Konvensi
tersebut sudah berusia 19 tahun. (3) Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dibentuk 10 tahun sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tersebut, karenanya meskipun oleh Pemerintah telah diatur tentang adanya azas kesetaraan antara suami-isteri dalam perkawinan dan isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam). Undangundang ini adalah merupakan pembaharuan dari peraturan-peraturan zaman kolonial yang sangat diskriminatif. (4) Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut Konvensi Wanita yaitu prinsip persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip kewajiban negara dengan mengharmonisasikannya ke dalam hukum nasional sesuai dengan azas kesetaraan dan keadilan gender. (5) Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang agar supaya dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan dalam pembangunan yang berkelanjutan. (6) Hukum positif yang sekarang berlaku masih banyak tertinggal karena merupakan warisan zaman kolonial yang tidak berkesetaraan gender di mana terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang bersifat diskriminatif dan tidak berkesetaraan gender sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan secara tepat guna. (7) Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya di laksanakan secara benar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena peraturan perundangundangan masih banyak yang rancu dan amat terkotak-kotak serta saling tumpang tindih; (8) Peran yurisprudensi yang sudah mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender kurang disosialisasikan sehingga pemanfaatan bagi pemberdayaan perempuan belum dapat dilaksanakan secara optimal-dalam pembangunan berkesinambungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), tentang Isu-isu Perempuan dan Jender di Organisasi Serikat Pekerja/Buruh di Indonesia. Penelitian ini dilakukan terhadap total 33 orang perempuan dan laki-laki yang menjadi pemimpin diberbagai tingkatan dalam pergerakan serikat pekerja di Indonesia. Laporan penelitian dengan ketebalan 77 halaman ini, mengungkap data mengenai partisipasi dan keterwakilan perempuan sebagai pemimpin dan anggota organisasi serikat pekerja, yang umumnya rendah secara tidak proporsional. Hal ini dilanjutkan dengan sebuah kajian mengenai penyebab rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan serikat pekerja dan strategi-strategi atau praktek-praktek yang baik untuk meningkatkan partisipasi perempuan melalui rekrutmen dan keterwakilan yang lebih baik dalam isu-isu kesetaraan jender. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: Beberapa praktek pengarusutamaan jender yang baik dikenal secara internasional, masih belum dicoba oleh serikat pekerja di Jakarta dan meluas secara nasional. Pemimpin serikat perempuan dan aktivis harus belajar banyak dari kolega mereka di luar negeri, namun mereka mengalami hambatan bahasa, perbedaan waktu, tidak berpengalaman, dan kurangnya pendanaan untuk fasilitas perjalanan dan komunikasi. Pada saat yang sama, sebaiknya ditekankan bahwa federasi nasional juga dapat belajar banyak dari filosofi dan praktek serikat pekerja independen di Indonesia. Rekomendasi ditujukan pada hambatan-hambatan untuk pembelajaran, berkomunikasi dan berkolaborasi diantara dan antar organisasi serikat pekerja. Forum Pemimpin dan Aktivis Perempuan Indonesia (The Indonesian Forum of Women Leaders and Activist) mendeskripsikan pada bagian akhir dari laporan ini dengan memberikan titik awal yang efektif bagi siapapun yang tertarik untuk mempromosikan kesetaraan jender dalam serikat pekerja, secara koheren dan sistematis.
2.3 Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teoretis sebagaimana diungkap di atas, maka alur berpikir yang digunakan dalam penelitian ini akan beranjak dari latar sosial ekonomi masyarakat, di mana kemiskinan dan perempuan itu sendiri menjadi sebuah konstruksi sosial yang menjadi bagian terpenting dalam proses pemerataan dan akses kebutuhan dasar seperti pendidikan. Karena hanya dengan pendidikan masyarakat akan mampu keluar dari polemik ketidaksamarataan-ketidaksejajaran (diskrimasi) yang selama ini telah mendiskreditkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
Dari kenyataan sosial ekonomi masyarakat tersebut dan harapan akan kesamarataan dalam akses pendidikan yang bermutu, diperlukan evaluasi terhadap program kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan daerah) sebagai program action plan penanggulangannya. Dalam hal ini, program pemberian beasiswa retrival kepada siswa rawan drop out (DO) terutama miskin dan perempuan.
Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana program berhasil mencapai tujuan dasarnya, dalam taraf implementasi dan akuntabilitasnya. Yang selanjutnya, dapat dikatakan mampu merubah kondisi pendidikan di daerah kabupaten Lombok Timur ke arah yang lebih baik, yang diindikasikan dengan menurunnya angka drop out (DO) dan meningkatnya angka partisipasi sekolah.
Mengingat evaluasi program yang dilakukan ini adalah mengenai evaluasi program pembiayaan pendidikan bagi masyarakat miskin dan perempuan, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini kemudian dispesifikasikan ke dalam bagan berikut ini:
BAGAN 01: KERANGKA BERPIKIR

CONTEXT
INPUT
OUTPUT
OUCOME
PROSES
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (semakin terpuruk sejak krisis ekonomi tahun 1999). Masyarakat miskin semakin tidak berdaya dan tidak mampu mengakses pendidikan.
Dana Pinjaman Lunak (Loan) ADB à DBEP
Program Pemerataan Pendidikan Dasar
Dana Pengembangan Pendidikan Kabupaten (DPPK)
Program Pemberian Beasiswa Kepada Siswa Rawan DO terutama Miskin dan Perempuan
Dana Pengembagan Sekolah (DPS)
RPS
RPPK
Direvisi atau dihentikan
· Meningkatkan angka partisipasi pendidikan di SD/MI maupun SMP/MTs terutama bagi anak miskin dan yang membutuhkan layanan khusus.
· Meningkatkan angka partisipasi pendidikan di SD/MI maupun SMP/MTs terutama bagi anak miskin dan yang membutuhkan layanan khusus.
2.
Sesuai/Efektif
Tidak sesuai/Tidak Efektif
Pengembangan Program
dilanjutkan

Tidak ada komentar: