Jumat, 18 September 2009

Kesadaran Tertinggi

Setelah kematian bapaknya, Sularso selalu mengurung diri di kamar, dia lebih banyak merenung dan menjadi pendiam, ia juga jarang masuk kuliah, pintu kamar kosnya selalu tertutup rapat. Dia sekarang lebih memilih untuk tinggal di rumahnya di Pekalongan. Di sebuah desa dimana ia telah dibesarkan oleh seorang ayah yang begitu menyanyanginya.
Di rumah sederhana itu dia menghabiskan waktunya seorang diri, merenung dan mengenang almarhum bapaknya. Tak pelik, banyak anggapan yang beredar mengenai perubahan perilaku Sularso, terutama di kalangan teman-teman kampusnya. Ada yang beranggapan Sularso telah gila, ada juga yang tidak habis pikir kenapa Sularso yang dikenal begitu cerdas bisa berubah seketika menjadi orang aneh, dan ada juga temannya yang berpikir, alangkah teganya penguasa negeri ini membiarkan seoarang anak veteran perang terlantar begitu saja, seakan jasa dan pengorbanan yang diberikan untuk negeri ini tidak ada artinya sedikitpun. Anggapan yang terakhir ini, lebih banyak terlontar dari mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan (aktifis).
Sularso bukanlah pribadi yang cengeng, dia juga bukan tipe lelaki yang suka mengemis untuk diperhatikan atau dikasihani seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena merasa bersalah atas kematian bapaknya, ia merasa tindakannya keterlaluan dan tidak bisa dimaafkan, sehingga bapaknya harus mati di tengah kesunyian di antara gundukan tanah pemakaman, ia menyesal telah berlaku kasar. Penyesalan dan rasa bersalah terus menghantuinya seperti bayang-bayang yang selalu setia menemani.
Sampai pada suatu hari, penyesalannya terus merasuki dan menggerogoti alam sadarnya, menggiringnya memasuki lorong-lorong sempit dan gelap, di mana tidak ada sesiapapun, semuanya hampa, sunyi dan sepi. Lamat-lamat ia merasakan ada sesuatu yang bergerak perlahan di sekujur tubuhnya, mulai dari ujung kaki merambat sampai ke ubun-ubun, ia merasakan ada sesuatu yang keluar meninggalkan dirinya.
Sularso memandangi tubuh kurus tanpa baju yang sedang duduk termenung di pojok kamar, ia merabanya, menatapnya dengan penuh haru, tubuh kurus dan pucat pasi itu tidak asing baginya.
“Inikah tubuh ringkih yang selama ini selalu bersamaku?”
Tanya Sularso sambil mengangkat wajah sosok yang sedang tertunduk lesu.
“Bagaimana mungkin aku selalu bersamamu sementara kau begitu lemah tak berdaya?”
Lanjut Sularso meremas lengan dan bahu tubuh kerempeng di depannya.
“Aku adalah kau, dan kau adalah aku Larso, tataplah aku dengan jelas”
Tiba-tiba sosok yang ada di depan Sularso mulai bersuara dengan tatapan yang begitu sendu.
“Tidak… aku tidak punya tubuh yang lemah seperti kau”
“Lalu… menurutmu aku ini siapa?”
“Kau adalah pecundang yang tidak tahu diri”
“Lihatlah dirimu, apakah kau lebih baik dariku?”
“Aku bukan kau, aku tidak pernah menyesali apapun yang terjadi, aku tidak pernah takut menghadapi apapun, sementara kau… kau hanya bisa diam membisu, bersembunyi dari kenyataan, kau begitu payah”
“Siapa kau?”
“Siapa aku…? Aku adalah Sularso, anak dari Suroso, veteran perang jaman Belanda dan Jepang, aku adalah mahasiswa yang memiliki idealisme, rela berkorban demi kebenaran, akulah kesatria yang akan menuntun rakyat negeri ini menuju kebahagiaan dan kemerdekaan sejati”
“Ha…ha… tanpa aku, kau tidak bisa berbuat apa-apa Larso, kau lebih payah dari aku, kau terlalu berambisi, kepalamu dipenuhi dengan hayalan-hayalan semu, akulah yang nyata sementara kau tidak”
“Salah.. kau salah besar… kau begitu hina, kau hanyalah seonggok daging yang ditopang oleh tulang belulang, kau ada karena aku ada bersamamu, sadarlah jalan yang akan kau lalui masih panjang, tidak ada artinya kau sesali, semuanya telah terjadi, biarlah hidup ini mengalir seperti air, peganglah tanganku, pejamkan matamu, akan ku perlihatkan bagaimana kehidupan yang semu dan penuh ketidakadilan ini bersemayam dikepalaku, dengarlah syair ini lalu bukalah matamu perlahan.

“Hai kau…
Apa yang kau cari…
Aku di sini
Tak guna kau sesali
Apa yang telah terjadi
Hidup ini memang berat
Tapi jangan pernah menyerah
Hapuslah air matamu
Sambutlah matahari pagi
Yang kan merubah segala mimpi
Hai kau
Yang diselimuti kabut hitam
Apa yang kau cari
Aku ada disni
Ada dalam ketiadaan
Hidup dalam keabadian
Tiada kepalsuan
Apa Yang Kau cari
Aku ada disini

Mendengar lantunan syair yang silih berganti, mengusik kesadaran Sularso, ia terkejut dan segara membuka matanya, sekelilingnya ia pandangi dengan seksama, ia tidak percaya, ia ada di mana, dipandanginya seluruh ruangan, semuanya putih bagai hamparan salju, dia merasa saat ini ada di sebuah rumah sakit. Dia melihat banyak orang lalu lalang, ada yang terbaring lemas sedang diinfus, ada yang duduk di atas kursi roda dengan wajah yang lesu, dan ada yang sibuk menukar resep dokter.
Tidak lama kemudian, ia melihat mobil sedan parkir tepat didepannya, nampaknya ada seorang perempuan setengah baya terbaring lemas di sofa belakang. Dengan penuh perhatian dan gerakan yang cekatan, para perawat lari berhamburan memberikan pertolongan bagi perempuan yang ditangannya melingkar serentetan gelang emas berkilauan. Dari penampilannya bisa ditebak bahwa perempuan itu adalah orang kaya yang disegani, tanpa banyak tanya perawat-perawat itu segera melakukan pemeriksaan lalu menyiapkan ruangan yang lengkap dan mewah seperti di hotel-hotel atau penginapan berkelas dengan pelayanan terjamin.
”Bagaimana bahagianya perempuan ini mendapatkan pelayanan yang demikian bagus” gumam Sularso membatin. Baru saja ia beranjak dari ruang VIP tersebut, tiba-tiba muncul lelaki tua mimisan dengan pakaian seadanya, baju yang dikenakannya begitu kotor berlumuran darah yang menetes dari hidungnya. Tukang becak yang mengantarnya berusaha sendirian memapah pria tersebut menuju ruang ICU, sementara para perawat yang tadi melayani perempuan setengah baya itu acuh tak acuh, seakan tidak perduli, bahwa pria itu juga butuh pertolongan secepatnya.
“Mbak… ruangan kosong masih ada nggak buat bapak ini?” tanya si tukang becak.
“Sabar, kan belum diperiksa” jawab si perawat dengan cemberut
”Mbak...”
”Saudara siapa? Perawat tidak memberi kesempatan tukang becak berbicara terlalu banyak
”Saya ini tukang becak, tetangga bapak yang sakit ini, keluarganya tidak sedang dirumah, saya melihatnya keluar sempoyongan dengan hidung berlumuran darah lalu terjatuh” tandas tukang becak dengan penuh harap agar si perawat segera melakukan tindakan.
”O.. ya bapak tunggu saja sebentar” timpal si perawat sambil berlalu dari hadapan si tukang becak.
”Mmbak...”
”Apa lagi...”
”Kapan dia diperiksa?” tanya tukang becak panik
”Sampaian sabar aja, masih banyak pasien yang juga butuh pertolongan secepatnya” jawab si perawat sambil lalu dengan muka yang sinis, tidak ada senyum sedikitpun dibibirnya.
”Tapi mbak...mbak...” panggil tukang becak semakin panik melihat perawat itu pergi ke ruang sebelahnya, sedangkan orang tua yang diantarnya semakin berlumur darah, ia berusaha mengusap darah yang menetes dari hidung orang tua itu dengan handuk kecil yang melingkar dilehernya.
Melihat kejadian itu, Sularso merasa gerah dan tidak bisa mengendalikan emosinya.
”Kejam...sungguh kejam, ini tidak adil, ini tidak manusiawi, kalian tidak pernah berpikir bagaimana seandinya lelaki tua itu adalah orang tua, saudara atau sanak famili kalian, keterlaluan...” Sularso membatin.
Segala rasa berkecamuk dalam pikirannya, ia tidak tahan lagi melihat begitu banyaknya pasien terlantar diemperan rumah sakit dengan pelayanan seadanya. Sementara yang lainnya diperlakukan dengan begitu istimewa. Wajahnya memerah, tubuhnya gemetaran menahan amarah yang amat sangat. Lalu...
”Hentikan.... ini tidak adil...” Teriak Sularso.
”Dengar Larso, tidak ada artinya kau berteriak karena kau masih bersamaku, lihatlah disamping rumah sakit ini, di sana ada sekolah, dari sana kau baru tahu kenapa kebanyakan diantara mereka berbuat seperti itu” Suara itu terdengar samar-samar seperti sedang berbisik kepadanya.
Dalam sekedipan mata Sularso telah berada di sekolah yang ditunjukkan oleh suara itu, di sana dia melihat anak-anak tidak ceria lagi, padatnya kurikulum telah mendominasi perkembangan mereka, hampir tidak ada waktu bermain. Di dalam kelas yang kaku dan terlalu banyak aturan itu dia melihat anak-anak seperti robot mainan yang sedang dicarger baterainya. Disitulah guru bertindak sebagai dewa penentu masa depan. Sekolah kemudian tidak lebih dari penjara yang menyiksa anak-anak dengan begitu banyak hafalan lalu diadili dengan selembar kertas.
Hari berganti hari, pakaian sekolah juga berganti setiap hari, guru yang dulunya umar Bakri seperti lagunya Iwan Fals sekarang berubah menjadi Rizal Bakry sang pengusaha besar. Sekolah menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan. Banyak guru berteriak menuntut kenaikan gaji demi kesejahteraan, namun tidak pernah terdengar satupun guru berteriak ketika begitu banyak siswa yang tidak lulus atau menjadi pengangguran. Kerelaan telah diganti dengan uang, ’tanpa tanda jasa’ telah diganti dengan sertifikat dan uang, semuanya berdasarkan berapa banyak uang yang ada dikantong calon peserta didik atau berapa banyak gaji yang akan diperoleh, bukannya berapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh anak-anak yang akan meniti masa depannya. Maka jangan berharap bisa masuk kelas unggulan kalau modalnya pas-pasan, masuk sekolah pun tidak ada jaminan, akhirnya banyak anak-anak gelandangan usia sekolah berkeliaran di pinggir-pinggir jalan.
”Sungguh memalukan, wajar saja banyak perawat, dokter atau pegawai dan pejabat berkelakukan tidak manusiawi, karena semuanya diukur dengan uang, mereka sekolahnya mahal, hitung-hitung ngembalikan modal, yah.. aku baru paham sekarang, kenapa orang miskin tidak boleh sakit dan di larang sekolah” gumam Sularso sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Larso... apa kau paham sekarang, kenapa aku mengajakmu untuk melihat semua ini?” tiba-tiba suara itu datang kembali.
”Ya... aku sadar... aku paham akan semua yang terjadi” jawab Larso sambil menganggukkan kepala berusaha meyakinkan dirinya.
”Kalau begitu bagunlah...hentikan kelesuan ini, tidak ada artinya kau duduk termenung dan menyesali diri, lakukanlah sesuatu untuk merubah wajah negeri ini menjadi lebih baik...” sentak suara itu menyadarkan Sularso dari lamunannya.
Sehari setelah kejadian itu, Sularso lantas bergegas ke Semarang untuk melanjutkan kuliahnya, ia tidak pernah berpikir bagaimana biaya kuliah dan biaya hidupnya nanti di sana, yang jelas ia hanya punya satu keyakinan bahwa hidup ini adalah suatu proses yang penuh dengan konsekuensi dan harus dijalani, tiada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok harinya.

Tidak ada komentar: